Yuliana Kusumastuti: Meluapkan Ekspresi dalam Pameran Lukisan di Australia

Wanita pelukis

Masyarakat Indonesia mungkin belum mengenal Yuliana Kusumastuti sebagai pelukis. Penulis dan mantan wartawan harian Bernas, Yogyakarta, yang sudah menetap di Australia lebih dari dua dekade ini memang baru beberapa tahun giat melukis. Namun karyanya berhasil dipamerkan pertama kali di Albany Creek Library, Brisbane, 4 Desember 2019 – 31 Januari 2020.

Menulis tentang seni dan budaya, membuat pecinta seni yang sejak kecil ingin menjadi pelukis ini diam-diam rajin melukis. Saat senggang di sela-sela kesibukannya bekerja merupakan waktu yang berharga baginya untuk melukis. Hingga Yuliana pun memamerkan 30 karyanya yang beragam, dari mixed media di atas kanvas dan linen, akrilik, juga drawing dengan pensil dan pastel.

“Anak-anak sudah besar dan saya menemukan diri saya tenggelam dalam hobi ini; melukis! Suatu dunia berekspresi yang tidak bisa saya luapkan dalam tulisan. Ada ketenangan dan kenyamanan seperti dalam meditasi,” kata Yuliana ketika berbincang lewat whatsapp pada akhir November 2019.

Karya-karya lukis dan mixed media yang ia pamerkan kental dengan sentuhan budaya dan identitasnya sebagai orang Indonesia yang tinggal di Australia. Menggunakan teknik layering, warna-warna yang tajam, bentuk geometris dan garis, adalah ekpresi tentang perjalanan hidupnya sebagai wanita dan ibu. Semua memori indah, kegagalan, serta pencapaian dan perjuangan hidup, tertuang dalam kanvasnya. “Ini adalah semua elemen yang membentuk diri kita sebenarnya,” ungkapnya.

Karya-karya mixed media di kanvas dan linen ia tuangkan dalam kolase (guntingan kain batik) dan cat akrilik. Seperti dalam karya “Cloudy Cloud” atau Mega Mendung, yang terinspirasi dari filosofi motif mega mendung sebagai refleksi diri.

Yuliana membuat background merah menyala dengan variasi benang wool merah, putih, dan biru melintang membuat garis. Sementara guntingan batik Mega Mendung ia jahit dan lem, yang dibuat menggantung di sebatang bambu.

“Buat saya, membuat karya seni merupakan suatu media untuk mengungkapkan ‘my story’, tapi juga koleksi dari perjalanan hidup. Di sini saya ingin menyampaikan pesan ‘their story’ atau ‘our story’ karena meskipun tinggal di Australia lebih dari dua dekade, terkadang saya masih merasa seperti ‘outsider’. Pulang tiap tahun mengunjungi keluarga di Indonesia membuat saya lebih dekat dengan keluarga,” tutur Yuliana.

Hidup di dua negara dengan label “Barat’, dan “Timur” membuat Yuliana berpikir kembali; siapa dia, dari mana dia berasal, dan akan menjadi orang seperti apa? “Saya tak bisa mengerti orang lain sebelum mengenali diri sendiri. Jadi, saya selalu ingin tahu tentang perjalanan hidup orang lain. Kalau bisa dideskripsikan, saya adalah tukang cerita, dan ini saya ungkapkan dalam karya.”

Contoh dari karya yang mengekspresikan “their story is our story” adalah lukisan dengan cat akrilik “Fire”, “The Aftermath”, dan “Black”. Karya-karya ini sangat relevan dengan keadaan Australia saat ini karena kebakaran hutan di mana-mana yang menelan korban jiwa manusia dan binatang wildlife. Belum lagi hilangnya harta, seperti rumah dan segala isinya.

Menyaksikan dari televisi dan mendengarkan cerita orang-orang dekat, spontan Yuliana merespons hal itu lewat karya seni. “Saya berpikir, kalau ada karya yang terjual, akan saya sumbangkan sebagian ke organisasi pecinta binatang untuk membantu rehabilitasi binatang-binatang itu, terutama koala,” ungkapnya.

Seri drawing di atas kertas menggunakan pen, pastel, dan pensil, merupakan rangkaian perjalanan yang ia rekam lewat judul “Landscape”. Garis-garis detail dalam drawing menceritakan tempat-tempat yang menjadi favoritnya, seperti Hornibrook Bridge. Atau ketika ia naik kereta api sebagai salah satu transportasi dalam kota, dengan berbagai cerita dari para penumpangnya.

Pengalaman Yuliana dalam dunia seni dimulai dari karier sebagai wartawan muda tahun 1990 di media Bernas, Yogyakarta. Dia seringkali menulis tentang seni dan budaya. Menulis seni pun diteruskannya ketika pindah ke Australia dan menjadi kontributor untuk media di Indonesia.

Lulusan S2 jurusan Creative Arts di Charles Darwin University, Darwin, ini juga terlibat dalam organisasi seni sebagai koordinator untuk “Ruwatan Bumi’. Organisasi ini melibatkan ratusan seniman di seluruh Jawa, menulis seni untuk majalah di Australia, juga menulis untuk kuratorial dan untuk seniman yang berpameran.

“Sekarang saya juga bisa pameran lukisan sendiri, bukan lagi sebatas sebagai kurator,” ucap Yuliana.