Indonesia sebelumnya menargetkan dapat mengambilalih kendali ruang udara wilayah (flight information regional/ FIR) yang dikelola Singapura pada tahun 2019. Namun nampaknya upaya tersebut mengalami kendala sehingga belum bisa tercapai di tahun ini.
Namun demikian, pemerintah masih belum patah semangat. Pemerintah kembali menargetkan untuk dapat mewujudkan pengambilalihan pengelolaan FIR dari Singapura pada tahun 2024.
Pengambilalihan FIR dari Singapura memang bukan hal yang mudah, namun bukan berarti hal yang mustahil juga. Sejumlah kendala pasti ada, namun bukan berarti tidak ada jalan pemecahan masalahnya.
Kepada IndoAviation di Jakarta (3/10/2019), Diplomat senior, Prof. Makarim Wibisono mengatakan, terkait pengambilalihan FIR Singapura akan lebih mudah bila para pihak-pihak terkait memiliki suatu visi bersama yang bulat. Dengan kata lain diperlukan suatu substansial yang terbungkus dalam kerangka ‘kepentingan nasional’.
“Masalah FIR akan mudah bila kita suatu visi bersama yang bulat,” ujarnya yang merupakan mantan Duta Besar RI untuk PBB periode 2004 – 2007.
Makarim menjelaskan, dalam setiap perundingan, terlebih lagi di tingkatan internasional. Masing-masing pihak yang berunding harus mengedepakan kepentingan nasional sebagai pakem dalam berunding. Unsur-unsur yang menjadi kesatuan pihak, ketika dalam berunding harus proporsional dalam menaungi hal yang menjadi urjensi masing-masing.
Karena menurutnya, jika tidak memiliki kepentingan nasional yang menjadi pakem, maka akan menjadi lemah dalam proses perundingan.
“Di setiap perundingan bila kita tidak bulat (satu visi) pasti akan lemah. Tapi kalau sebelumnya kita punya national platform, yang semua (unsur terkait) sama pandangannya, Belanda pun (dulu) bisa kita lawan,” tuturnya.
Dia memberikan perbandingan, di negara lain, urusan FIR tidak dipecah-pecah. Apakah itu domainnya regulator, apakah harus mengutamakan aspek keselamatan ketimbang kedaulatan, atau sebaliknya.
“This is about national interest,” tegasnya.
Dia mengatakan bahwa negara maju tak pernah memisahkan aspek kedaulatan, keselamatan, ekonomi maupun lainnya. Semuanya terkemas dalam kepentingan nasional.
Makarim mengatakan, pada era Presiden Soeharto ada skema pertemuan yang disebut related departemental. Ketika mengadakan pertemuan, masing-masing pihak, baik departemen maupun lembaga mengemukakan hal-hal. Jika ada hal yang merugikan pihak lain departemen atau lambaga lain, maka akan dicarikan solusinya. Minimalnya ada jalan tengah jalan tengah.
“Mungkin tidak ideal buat satu pihak, atau tidak ideal buat pihak lainnya, tapi dicarikan satu platform yang bisa diterima oleh semua (pihak),” tuturnya.
“Jadi jangan terpecah, jangan yang satu hanya mengenai safety, yang satu mengenai lainnya (kedaulatan, ekonomi). Jadi terpecah,” tekannya.
Terkait upaya pengalihan FIR Singapura, Makarim mengatakan bahwa delegasi-delegasi Indonesia yang terlibat dalam perundingan perlu memperlihatkan kesatuan yang lebih kuat lagi untuk menggetarkan negara delegasi lain.
“Jadi jangan memisahkan antara safety dengan kedaulatan (terkiat FIR ini),” kata dia.
Dia juga mengusulkan, Indonesia perlu membangun suatu aliansi di kawasan untuk memperkuat posisi Indonesia.
“Saya mengusulkan, kita membangun sekutu di wilayah ini. Kedaulatan dan safety adalah hal yang tak bisa dipisahkan. Jadi jangan mau dipecah dengan dua aspek itu.”