Pembangunan tol laut yang sudah berjalan empat tahun mulai menampakkan hasil. Pelayaran ke kawasan timur untuk angkutan barang mulai menurunkan tarif. Perbedaan atau disparitas harga barang-barang antara di kawasan barat dan timur sudah mulai menipis, bahkan sama. Terpenting, kebutuhan pokok dan barang penting di daerah tertinggal, terpencil, terdepan, dan perbatasan (3TP) mulai terpenuhi.
Demikian beberapa poin penting yang terungkap dalam Bedah Buku “Tol Laut Jokowi, Denyut Ekonomi NKRI” karya Akhmad Sujadi yang sudah menulis sembilan buku. Acara ini diselenggarakan Forum Wartawan Kementerian Perhubungan (Forwarhub) di Jakarta, Senin (20/5/2019).
Tenaga Ahli Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, Jojo Raharjo mengatakan, program Tol Laut dirancang menjadi lokomotif pembangunan di kawasan timur Indonesia. Bukan sekadar untuk menunjang kelancaran arus barang dan logistik serta menekan biaya logistik. Namun tol laut bisa mempercepat integrasi antara kawasan pelabuhan dengan kawasan industri dan klaster-klaster ekonomi untuk menopang kebutuhan barang.
“Tol laut juga menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan antara wilayah barat dengan timur. Kawasan industri atau kawasan ekonomi baru di sekitar pelabuhan utama atau pelabuhan pengumpul dikembangkan agar terjadi keseimbangan pengangkutan barang,” kata Jojo.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Angkutan Barang dan Tol Laut PT Pelni (Persero) Harry Boediarto menyebutkan, tarif komersial pengiriman barang menggunakan angkutan laut menurun. “Dulu, ke Papua tarifnya Rp20juta per kontainer 20 feet. Dengan subsidi tol laut tarifnya jadi Rp8juta-Rp9juta per boks,” ucapnya. Sekarang ini, shipping line yang melayani rute yang sama bertarif komersial Rp13juta.
Hal tersebut dibenarkan oleh Kasubdit Angkutan Laut Dalam Negeri Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Laut Ditjen Perhubungan Laut, Budi Mantoro. Kata dia, sejumlah shipping line yang melayani rute komersial ke Papua mulai menyesuaikan biaya angkutnya.
Harry menambahkan, kapal-kapal angkut yang berlayar rutin dari Jawa hanya melayani luar Jawa yang memiliki pelabuhan besar. Karena itulah, ketersediaan barang di daerah 3TP sangat sulit, kalaipun ada harganya sangat tinggi. Kapal-kapal mulai masuk pelabuhan kecil sejak tahun 2015 melalui program Tol Laut.
Kehadiran tol laut, kata Jojo, dapat melapangkan jalan suatu kawasan yang memiliki potensi untuk berkembang dan mendorong ketersediaan infrastruktur.
Secara bertahap juga sudah bisa menekan disparitas harga dengan penurunan harga kebutuhan pokok antara 20%-40% dan membuka pasar baru. “Indikator sederhananya dapat dicermati dari meningkatnya mobilitas manusia dan barang,” ujarnya.
Terungkap pula bahwa tol laut bukan hanya prasarana untuk mengoperasikan kapal kargo untuk angkutan bahan pokok dan barang penting, yang awalnya dua rute menjadi 18 rute. Tol laut juga mengoperasikan enam kapal ternak yang dioperasikan Pelni, ASDP Indonesia Ferry, dan perusahaan pelayaran swasta nasional.
“Sebelum ada kapal ternak, untuk mengirim sapi dari NTT, NTB, dan Bali ke Jawa menggunakan kapal kargo yang disekat dengan bambu. Untuk menaikkan hewan, sapi diikat dan diangkat dengan crane, hewan menjadi stres dan bobotnya susut hingga 22%,” kata Sujadi.
Dengan adanya kapal khusus angkutan ternak, cara memuat ternak ke kapal cukup mudah. Truk menempel ke kapal dan ternak tinggal digiring; diarahkan ke kamar-kamar di kapal. Demikian pula sebaliknya, sehingga ternak merasa nyaman. “Kapal ternak juga dilengkapi dokter hewan serta kledeng atau pengurus ternak selama pelayaran, sehingga kesehatan hewan sangat terjaga dan dapat mengurangi susut bobot sapi hidup dari 22% menjadi 5% saja,” ungkap Sujadi.
Tol laut juga berdampak dengan dibangunnya “Rumah Kita” di daerah 3TP. “Rumah Kita” merupakan pusat perdagangan dan distribusi logistik ke wilayah lanjutan di daerah tujuan tol laut. Keberadaannaya menjadi pelopor modernisasi perdagangan. Pengelolaannya bekerja sama dengan BUMD, BUMDes, koperasi, dan para pengusaha daerah, serta jadi acuan harga di daerah 3TP.