Tarif Penerbangan Sesuai Mekanisme Pasar Saja

Assalamualaikum semua …

Masih soal tarif dan harga tiket pesawat udara domestik yang terus diberitakan sampai saat ini. Belum ada solusi. Bahkan sekarang asosiasi perusahaan penerbangan nasional (INACA) menggugat pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, soal penentuan tarif itu.

Kalau hemat saya, tarif penerbangan komersial sebaiknya disesuaikan mekanisme pasarnya saja. Kalau maskapai menerapkan tarif mahal dan tidak terjangkau masyarakat, pastinya tak akan ada yang memilihnya. Namun tentu bukan begitu mekanismenya karena saya sangat percaya, maskapai punya ahli-ahli yang piawai menghitung harga tiket yang akan dijualnya disesuaikan dengan pasarnya.

Minggu lalu saya berkesempatan naik maskapai Frontier Airlines dan Delta Airlines untuk rute domestik mereka di Amerika Serikat. Harga tiketnya variatif, tergantung waktu terbangnya. Yang satu maskapai LCC (low cost carrier), yang satu full service. Namun layanan keduanya mirip; tak diberi makan juga.

Terbang dengan Frontier dari Baltimore (BWI) ke Orlando (MCO) yang waktu terbangnya lebih dari dua jam harga tiketnya 111 dollar AS belum bagasi dan lain-lain. Harganya bisa sampai 150-an dollar. Namun kalau kita cari-cari, pada waktu-waktu tertentu ada juga harga yang hanya 49 dollar atau kalau dapat promo diskon bisa 44 dollar (belum pajak dan bagasi).

Dengan Delta, saya terbang dari Fort Lauderdale (FLL) Miami ke Kennedy (JFK) New York City. Terbangnya dua jam 50 menit dengan harga tiket 173 dollar AS (setelah pajak dan lain-lain) plus bagasi (maksimal 23 kg) 30 dollar bayar sewaktu check in.

Mahal? Itu yang paling murah karena terbang pagi hari. Kalau yang siang atau malam bisa 200-300 dollar AS. Kalikan saja dengan Rp14.450, maka harga tiketnya dari Rp3juta sampai lebih dari Rp5juta.

Sempat membandingkan juga kalau naik kereta Amtrak atau bus Greyhound. Namun tak lebih menarik dari segi harga tiket dan waktu. Amtrak yang waktu tempuh dari Miami ke New York City hampir 33 jam, tiketnya ada yang 158 dollar, 354 dollar, dan 766 dollar AS. Bus lebih murah, tapi lebih dari 40 jam perjalanan. Kalau punya banyak waktu, menarik memgeksplorasi perjalanannya.

Itu kan Amerika ya? Yang biaya hidup dan penghasilan penduduknya tinggi. Namun biaya operasional pesawat terbang di mana pun relatif sama karena dibayar dengan dollar AS. Standar gaji awak pesawat di sini juga tak terlalu jauh dari mereka di sana. Kecuali biaya karyawan lain yang relatif lebih rendah, tapi komponen untuk operasionalnya sangat rendah pula.

Masih ingat pasca kecelakaan pesawat AirAsia Indonesia QZ 8501 (28/12/2014)? Kementerian Perhubungan mengeluarkan pernyataan agar tidak ada lagi tiket murah. Tarif batas bawah pun dikeluarkan dan ditetapkan, bahkan kemudian dinaikkan. Lion Air Group yang tidak sepaham dengan kebijakan INACA soal tarif itu, lantas keluar dari keanggotaannya. Lion Air Group masuk lagi INACA pada akhir tahun 2018.

Sekarang maskapai menaikkan tarif penerbangannya dengan tidak melebihi tarif batas atas yang ditetapkan pemerintah sejak perhitungan kurs dollar AS Rp9.000. Setelah kurs naik mencapai hampir Rp15.000, tarif batas atas toh tidak dinaikkan. Namun harga tiket pesawat yang kemudian lebih tinggi dari harga setahun lalu terus dibahas tanpa (belum) ada solusi.

Ini bukan hanya persoalan Kementerian Perhubungan dan maskapai penerbangan. Seluruh sektor terkait harus ikut introspeksi, bahkan melibatkan seluruh sektor ekonomi masyarakat. Barangkali bukan hanya insentif dari pengelola bandara dan airnav, yang komponennya biaya operasional penerbangannya hanya 1-2%. Namun bagaimana dengan avtur, pajak, dan pembiayaan beli/sewa pesawat, yang biayanya signifikan?

Negara kepulauan ini sangat membutuhkan transportasi udara dengan sarananya, yakni pesawat terbang, dan seluruh awak penerbangannya. Mereka bernilai tinggi dan patut dihargai tinggi pula.