Tarif Angkutan Penyeberangan Rendah, Saatnya Dinaikkan?

Tuntutan untuk memperbaiki aspek keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan angkutan penyeberangan menjadi poin penting, kenapa pemerintah bakal menaikkan tarif angkutan penyeberangan. Di samping itu, banyak permintaan untuk melakukan evaluasi tarif penyeberangan ini.

Maka Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi hadir dalam “Uji Publik Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Perhubungan tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Tarif Angkutan Penyeberangan dan Penyesuaian Tarif Angkutan Penyeberangan Antar-Provinsi”. Agenda yang dilaksanakan di Jakarta, Selasa (8/10/2019) ini dihadiri oleh sejumlah pengurus DPP Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap).

“Tarif adalah keseimbangan antara bagaimana willingness to pay dari masyarakat dan cara kita dari Pemerintah membangun sistem keselamatan untuk masyarakat. Jadi, bicara keselamatan tidak ada toleransi. Artinya, kalau mahal pun tidak masalah asal selamat,” tegas Budi.

Budi menambahkan, “Saya ingin kita semua fokus. Begitu sudah menyepakati adanya kenaikan harga, harus ada evaluasi lagi terhadap keselamatan. Evaluasi pada sumber daya manusianya, sarana-prasarananya, dan sistemnya.”

Pada kesempatan itu, Direktur Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan, Chandra Irawan memaparkan tentang delapan substansi perubahan dalam RPM baru itu. Antara lain, perubahan indeks satuan unit produksi (SUP) dari 0,73 menjadi 0,78; besaran SUP untuk masing-masing golongan; besaran tarif bayi; dan koefisien pemakaian BBM per PK per jam 0,10.

“Mekanisme kenaikan tarif ini akan dilakukan secara bertahap. Selain itu, paling cepat tahapan kenaikan tarif dilakukan dalam satu tahun,” jelas Chandra.

Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menanggapi bahwa ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam kebijakan tarif. Ada keadilan tarif, yang artinya adil bagi konsumen dan memperhatikan kepantasan, baik bagi konsumen maupun operator. Ada juga ability to pay dan willingness to pay.

“Saya rasa yang disampaikan tadi sudah mengarah ke sana. Daya beli penting dan perlu diperhatikan karena pengguna kapal penyeberangan itu kelas menengah ke bawah,” ungkap Tulus. Namun ia juga mengatakan, penyesuaian tarif memenuhi aspek kepantasan bagi para operator, mengingat sudah 2,5 tahun tidak ada penyesuaian.

Tarif angkutan penyeberangan diatur dalam PM Nomor 58/2003. Penyesuaian tarif yang terakhir dilakukan pada Mei 2017. Padahal, kata Ketua Umum DPP Gapasdap Khoiri Soetomo, komponen biaya operasional sangat tinggi. “Sampai kini, tidak ada komponen kapal, seperti mesin induk, mesin bantu, dan alat navigasi, yang dibuat di dalam negeri; semuanya impor.”

Ditambahkannya, sebelumnya untuk impor komponen itu relatif cepat dan mudah, tapi saat ini lebih mahal, lama, dan urusannya berbelit-belit. Selain itu, tarif angkutan penyebrangan merupakan satu-satunya yang tidak naik, meski memasuki musim padat penumpang, seperti Idul Fitri serta Natal dan Tahun Baru.

Tarif angkutan penyebrangan, disebutnya luar biasa rendah. Contoh saja, tarif penyeberangan Ketapang-Gilimanuk per penumpang dewasa Rp6.500. “Kami selaku operator pelayaran hanya menerima Rp2.800. Sisanya untuk operaror pelabuhan yakni ASDP Rp2.900 serta asuransi jasa raharja, retribusi untuk pemda, dan lainnya. Kalau dunia mendengar, apakah kita gak malu?”

Khoiri mengatakan, demi menjaga keselamatan pelayaran, tarif baru nanti tak ingin diartikan naik. “Ini investasi keselamatan,” katanya, menekankan. Investasi ini dengan perhitungan kenaikan tarif yang persentasenya bervariasi tergantung lintasan. Ada yang naik 10%, 20%, dan 30% atau rata-rata kenaikannya 28%.

Budi pun berharap, dengan naiknya tarif sehingga pendapatan bertambah, selayaknya diimbangi dengan perbaikan pada aspek keselamatan dan pelayanan. “Jangan lagi terdengar penumpang atau mobil jatuh. Semua aspek harus diperbaiki.”