Terkait perkara mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar, rumah mewah di Pondok Indah, Jakarta, yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata adalah milik almarhum Mia Suhodo, ibu mertua Emirsyah. Hal ini diungkapkan oleh saksi Sandrani Abubakar, putri dari Mia yang juga saudara kembar dari almarhum Sandrina Abubakar, istri Emirsyah.
Saksi Sandrani mengungkapkan kesaksiannya dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap dan pencucian uang dengan terdakwa Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (5/3/2020). Saksi lainnya adalah Friatma Mahmud (mantan general manager finance Garuda di Singapura), Nana Hadna (kontraktor yang merenovasi rumah mertua Emirsyah di Pinang Merah), Florentina Damayanti dan Hendi Kurniawan (karyawan Bank UOB)
Sandrani mengatakan, “Pembelian rumah tersebut karena almarhum Mia ingin mencari rumah yang lebih kecil. Ini supaya biaya perawatan lebih murah dan ada uang simpanan karena mereka sudah tidak bekerja lagi.”
Dia juga menjelaskan, rumah tersebut dibeli almarhum Mia setelah rumah lama di Permata Hijau dijual. Pembelian dan renovasi rumah itu adalah juga hasil kerja keras ibunya di Chevron dan sebagai kepala pelaksana Jakarta Convention Centre.
Saat memberikan keterangan, Sandrani sempat terbawa emosi karena rumah milik almarhum ibunya yang di Pondok Indah itu disita KPK. Karena itu adalah rumah tempat ibunya meninggal dan disemayamkan.
Terkait renovasi rumah tersebut, saksi Nana menyebut bahwa sepengetahuannya yang membayar ongkosnya adalah almarhum Mia. Emirsyah disebutnya tidak pernah ikut mengurus renovasi rumah tersebut.
Terungkap juga bahwa pembayaran pembelian unit apartemen Silversea di Singapura, yang sebelumhya dimiliki Emirsyah, dilakukan melalui Friatma. Hal ini dilakukan karena berdasarkan ketentuan dan mekanisme perbankan di Singapura, pembayaran jarang melalui transfer, melainkan lewat cek.
“Saya diminta tolong Pak Emir keluarkan cek untuk pembayaran uang muka unit apartemen lewat rekening pribadi saya karena di Singapura pembayaran biasanya pakai cek, jarang sekali lewat cash atau transfer. Di BAP saya sudah jelaskan kalau Pak Emir minta tolong saya untuk keluarkan cek karena Pak Emir beberapa kali transfer tapi gagal, uangnya juga sudah digantikan oleh Pak Emir,” jelas saksi Friatma kepada jaksa.
Dia pun menegaskan, unit apartemen Silversea adalah milik Emirsyah dan pembeliannya dilakukan setelah ia menjual unit apartemen yang dimiliki sebelumnya di Belmont Road. Emirsyah, kata dia, tidak pernah menutupi kepemilikannya atas unit apartemen Silversea tersebut.
Di penghujung sidang, Emirsyah membenarkan kalau ia memang meminta tolong Friatma membayarkan pembelian unit apartemen Silversea. Bank di Singapura mensyaratkan pembayaran harus dilakukan dengan cek, sementara rekening yang dimilikinya adalah saving account.
Saksi dari Bank UOB menjelaskan, Emirsyah pernah memiliki pinjaman, tapi bank menyatakan pinjaman telah dibayar lunas. Saksi tidak mengetahui kalau ada yang janggal dari kredit yang diajukan. Namun saksi mengaku, ia hanya membaca dari dokumen karena tidak menangani langsung kredit tersebut.
Sempat ada perdebatan dalam sidang ketika Sandrani menerangkan almarhum Mia buta perbankan dan tidak pernah memiliki rekening bank. Hal ini diungkapkannya, setelah sebelumnya jaksa menayangkan rekening koran almarhum Mia.
Penasehat hukum Emirsyah, Luhut Pangaribuan menukasnya, “Tidak mungkin almarhum ibu saksi tidak punya rekening bank. Pernah kerja sebagai ketua pengelola Balai Sidang Jakarta selama 20 tahun dan sebelumnya karyawan Chevron, yang perusahaan Amerika. Masa gajinya diterima dengan amplop cokelat?”
Hakim pun menengahi dan menyatakan, “Sudah. Itu kan menurut saksi. Nanti tuangkan saja di pembelaan, biar kami menilai.”