Pilot Tidak Jadi Pilot

Assalamualaikum semua …

Empat hari lalu (30/9/2018) saya bertemu lulusan penerbang dari STPI Curug yang tidak menganggur alias sudah bekerja. Namun lulusan tahun 2016 ini tidak bekerja di maskapai penerbangan dan belum pernah terbang di luar dari sewaktu pendidikan. Dia bekerja di salah satu balai di bawah Kementerian Perhubungan.

Orangnya sangat santun dan ramah. Katanya, ia belum bisa terbang lagi. “Kalau mau ikut terbang, biayanya mahal,” katanya. Apakah ia masih ingin terbang? Dia hanya tersenyum. Walaupun mungkin keinginannya sangat besar untuk menjadi pilot, tapi kalau realitasnya harus bekerja tidak sesuai bidang yang sudah dipelajarinya, ia menerimanya. Kelak, siapa yang tahu?

Sebelumnya, tidak pernah ada lulusan penerbang Curug yang tidak diterima maskapai penerbangan atau menjadi pilot di Ditjen Perhubungan Udara. Namun sekarang, cukup banyak yang masih “menganggur” dan cukup banyak pula yang diterima di instansi pemerintah itu, walaupun bukan sebagai penerbang.

Kabarnya, secara keseluruhan ada sekitar 450 lulusan pilot yang masih belum bekerja. Tidak banyak kalau dibandingkan pengangguran sarjana S1, bahkan sarjana strata 2. Karena itulah, ada imbauan kalau surplus pilot itu tidak harus digembar-gemborkan.

Faktanya lagi, beberapa sekolah pilot swasta masih jalan. Saya pun bertemu dengan pengelola BIFA (Bali International Flight Academy) di Jakarta lima hari lalu. Sekolah yang berbasis di Buleleng, Bali, ini dalam tahun lalu dan tahun ini masih meluluskan 60-70 pilot baru per tahun. Pesawat latihnya lebih dari 20 unit, termasuk satu pesawat multi engine, Piper Seminole.

“Lulusan BIFA sekarang sudah mengantongi 200-210 jam terbang dan menambahkannya dengan multi engine, termasuk pula ATPL Ground,” katanya. Wah, lebih mahal biayanya? Tidak sampai Rp1miliar, katanya, hanya Rp870juta sudah termasuk seluruh akomodasi selama sekolah sampai lulus sekitar 14 bulan. Di STPI Curug saja sekarang biayanya Rp560juta, tidak gratis lagi.

Kalau lulusan STPI Curug yang biaya sekolahnya “gratis” mau bekerja sebagai ASN (aparatur sipil negara) bukan sebagai pilot, barangkali bisa dipahami. Namun kalau sekolahnya saja sudah mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah, apa profesi pilotnya mau dikorbankan?

Foto: BIFA