Penularan Covid-19 yang terjadi di dalam pesawat terbang sangat rendah. Berdasarkan data yang diungkap Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), terdapat 44 kasus dari 1,2 miliar pelancong atau satu kasus setiap 27 juta pelaku perjalanan di seluruh dunia.
Demikian disampaikan Ketua Umum MTI, Prof. Agus Taufik Mulyono dalam diskusi online (diskon) “Disiplin Protokol Kesehatan Kunci Pulihnya Lalu Lintas Penerbangan” yang diselenggarakan Forwahub, Sabtu (19/12/2020).
“Fakta dan referensi ilmiah menunjukkan, risiko penularan Covid-19 di kabin pesawat terbang sangat sedikit. Sebagian besar penularan terjadi ketika masker belum menjadi protokol kesehatan,” tegasnya.
Menurut Agus, kabin pesawat memiliki teknologi yang mampu mengganti udara dengan filter HEPA (High Efficiency Particulate Air). HEPA bisa menyaring udara dengan efektivitas 99,99 persen dan memastikan udara bersirkulasi setiap tiga menit. “Jadi, kecil kemungkinan penumpang tertular di dalam pesawat,” ujarnya.
Hasil penelitian, kata Agus, menunjukkan bahwa risiko penularan tinggi Covid-19 justru di akses masuk terminal serta risiko sedang-tinggi di area publik terminal intermoda-antarmoda dan area steril terminal. “Stigma bisa tertular Covid-19 di dalam pesawar terbang harus dihilangkan karena aman, asalkan tetap memenuhi protokol kesehatan,” ucapnya.
Penerapan protokol kesehatan dengan disiplin bisa mengembalikan kepercayaan publik untuk melakukan perjalanan dengan pesawat terbang.
Protokol Covid-19, kata Presiden Direktur PT Angkasa Pura II (Persero) Muhammad Awaluddin sudah diterapkan dengan ketat di 19 bandara yang dikelolanya. Bahkan pada masa liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru) ini, disiapkan posko kesehatan dan keselamatan, yang dibuka mulai 18 Desember 2020 sampai dengan 4 Januari 2021.
“Protokol kesehatan tentunya tidak saja berlaku untuk penumpang tapi juga harus dilakukan oleh maskapai, sehingga faktor kesehatan dan keselamatan tetap terjaga,” ujar Awaluddin.
Tentang masa libur Nataru, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, perubahan waktu libur dari 11 hari menjadi hanya libur Natal berpotensi menimbulkan kerumunan padat.
“Saya justru khawatir dengan dipendekkannya mudik Nataru jadi empat hari akan ada kerumunan massa yang lebih terkonsentrasi. Kalau dipanjangkan jadi menyebar dan kerumunan bisa berkurang,” kata Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian YLKI.
Tulus juga mengatakan, kesalahan perubahan kebijakan pemerintah tersebut sudah terlambat. Sebagian masyarakat telah memesan tiket, khususnya tiket pesawat terbang.
Masyarakat yang membatalkan penerbangan, kata Tulus, membuat maskapai kewalahan. Sedikitnya, maskapai harus menyiapkan dana Rp300miliar untuk mengembalikan dana tiket dibatalkan tersebut.
“Pada akhirnya terjadi sengketa. Konsumen marah uangnya tidak bisa ditarik dan maskapai kesulitan untuk bisa menarik dana secepat itu. Ini pelajaran
bagi pemerintah: jangan main-main mengambil kebijakan Covid-19,” paparnya.
Ada lagi perubahan itu, yakni pemerintah akan mengganti syarat dokumen perjalanan dari rapid test antibodi menjadi rapid test antigen. Padahal MTI menyatakan, peningkatan penyebaran Covid-19 di dalam negeri bukan disebabkan oleh perjalanan, melainkan minimnya kesiapan pemerintah daerah dalam mengakomodasi pendatang dari luar daerah.
“Ini yang membuat penyebaran Covid-19 tidak terkendali. Sebenarnya pengendalian transmisi lokal yang sangat penting, bukan persoalan berganti menjadi rapid test antigen,” ujar Agus.