IndoAviation – Industri perbankan diatur dengan ketat oleh pemerintah di hampir semua negara, termasuk Indonesia, untuk menjaga stabilitas sektor keuangan dan melindungi kepentingan nasabah.
Di Indonesia, aset perbankan nasional tercatat mencapai Rp11.113triliun. Rasionya terhadap aset sektor keuangan sekitar 77%-78%. Ini mengindikasikan bahwa industri perbankan mendominasi sektor keuangan, sehingga perlu diatur secara ketat.
Dengan regulasi yang ketat, para bankir dan pihak terkait lainnya dituntut untuk mematuhi berbagai peraturan dan standar yang telah ditetapkan. Standar itu adalah yang terkait manajemen risiko, pengelolaan keuangan, dan kepatuhan pada regulasi. Juga standar yang ditetapkan oleh regulator, serta penilaian kualitas kredit secara terus-menerus.
Meski demikian, regulasi yang ketat tidak selalu membuat perbankan menjadi kurang fleksibel dalam memberikan kredit. Sebaliknya, dengan adanya regulasi yang ketat, para bankir dituntut untuk semakin cermat dalam memilih peminjam yang layak, sehingga risiko kredit macet dapat diminimalkan.
Direktur Eksekutif Segara Institute, Pieter Abdullah mengatakan, definisi pengawasan atau regulasi ketat perbankan bukan berarti dipersulit. Ketatnya regulasi penyaluran kredit misalnya, adalah dalam upaya melindungi dana publik yang diamanatkan kepada bank.
“Penyaluran kredit ketentuannya yang berlaku utamanya di bank itu sendiri. Untuk orinsip prudent (kehati hatian), tiap bank punya SOP dalam bentuk 5C. Ini yang harus dipatuhi self regulatory-nya” kata Pieter di Jakarta, Sabtu (18/2/2023).
Menurut Pieter, regulator, dalam hal ini BI dan OJK, sangat mendorong penyaluran kredit jauh lebih ekspansif. “Fungsi dari bank sebagai intermediasi. Jadi, harus prudent! Jangan sampai kejadian seperti era 1998/1999 silam itu. Bahaya, kan?” katanya.
Pieter mengakui, perbankan terutama bank BUMN, sudah cukup ekspansif dalam penyaluran kredit karena sudah menjadi rencana pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebagai hasil dari regulasi yang ketat, perbankan Indonesia telah mencatatkan kinerja yang cukup baik dalam beberapa tahun terakhir. Bank-bank di Indonesia juga terus melakukan inovasi dan pengembangan teknologi untuk memberikan layanan yang lebih baik dan efisien bagi nasabah.
Salah satu contoh adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI, yang berhasil membukukan laba terbesar sepanjang sejarahnya pada tahun 2022. BNI membukukan pertumbuhan laba 68% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp18,31triliun.
Pertumbuhan kredit BNI juga berhasil tumbuh 10,9% yoy dengan rasio loan at risk (LaR) yang turun dari 23% menjadi 16%. Tingkat biaya kredit atau cost of credit turun dari 3,3% menjadi 1,9% tahun 2022.
Kinerja moncer BNI tersebut dibarengi dengan penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang ketat oleh perseroan. Hal tersebut ditandai dengan penghargaan “The Best State Owned Enterprises” dan masuk dalam kategori “Top 50 Big Cap Public Listed Companies” dari Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD).
Penghargaan tersebut diraih BNI terkait penerapan GCG, sekaligus kestabilan bisnis jangka panjang yang dilakukannya.