Gadis belia itu bernama Shoushi Bakarian, pengungsi asal Suriah. Walalupun masa remajanya harus melalui situasi yang sangat sulit karena meletusnya perang saudara di tanah kelahirannya, namun dia berhasil meraih impiannya menjadi seorang ilmuwan di bidang penerbangan.
Kisah ini berawal pada tiga tahun lalu saat Bakarian tinggal bersama keluarganya di Aleppo, Suriah. Saat itu mereka menghadapi masa depan yang tak pasti karena perang saudara yang berkecamuk.
Di masa yang sangat berpotensi meregang nyawa kapan saja, gadis belia ini masih harus menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya di tengah situasi peperangan dengan bom-bom yang seakan tiada habisnya diluncurkan.
Kepada The Globe and Mail pada awal Januari lalu Bakarian menceritakan, “Sekolah kami berada di garis depan, jadi kami harus belajar di taman kanak-kanak di kursi-kursi kecil ini. Di kelas 10, bom besar dimulai, pada kelas 11, kami tidak memiliki listrik atau air mengalir atau internet. Beberapa mulai pergi tetapi kami tidak tahu bagaimana keluar dari Aleppo.”
“Kami tidak tahu siapa yang berada di jalan menunggu untuk menculik kami. Terlebih lagi, bom bisa mendarat di mana saja sewaktu-waktu. Begitu rudal mulai jatuh, kami tidak tahu dari mana itu berasal,” sambungnya.
Bersama keluarganya, wanita berusia 21 tahun ini pun kemudian pindah ke Lebanon. Saat ibunya sedang sakit dan perlu dilakukan operasi. Ia bersama kakak perempuan, ayah, dan ibunya terpaksa tinggal di Lebanon selama setahun.
Kedua orangtua Bakarian memproyeksikan bahwa pendidikan dan kesempatan kerja di Lebanon sangat terbatas. Di saat itu pula Kanada membuka pintu bagi para pengungsi Suriah, dan keluarga Bakarian memanfaatkannya untuk pindah ke negara itu.
Pada Desember 2015 keluarganya akhirnya pindah ke Montreal, Kanada. Di tempat tinggal barunya itu Bakarian mulai mengambil pekerjaan paruh waktu di McDonald’s untuk mendukung kebutuhan keluarganya.
Sambil tetap bekerja paruh waktu, Bakarian juga mempertimbangkan beberapa universitas untuk mengejar mimpinya menjadi insinyur di bidang kedirgantaraan. Tak patah arang, dengan gigih Bakarian berusaha mengejar impiannya, hingga akhirnya ia berhasil menjadi mahasiswa di Universitas Concordia.
Pada tahun ketiga masa kuliahnya, mahasiswi Teknik Aerospace ini pun sukses menciptakan sebuah penemuan yang dinamai ‘The Ventus’. Penemuannya itu merupakan aksesori pengisi daya 5 volt untuk pesawat Cessna yang mengalir dari ventilasi udara pesawat dan juga mendinginkan udara dengan mengompresornya.
Dengan penemuannya itu, Bakarian bahkan mendapat dua pekerjaan dengan prospek yang menjanjikan di Bombardier Aerospace dan Stratos Aviation.
“Aku ingin menjangkau perempuan dan memberi tahu mereka bahwa mereka tidak harus membatasi diri pada pekerjaan tradisional, seperti guru. Khusus untuk anak perempuan dari komunitasku, mereka memiliki gagasan yang sangat terbatas tentang apa yang ada di luar sana. Aku ingin menjadi contoh,” tutup Bakarian.