Penerbangan Perintis

Assalamualaikum semua …

Penerbangan di Indonesia bukan sekadar moda transportasi udara, tapi sangat penting untuk pemersatu bangsa dan penyejahtera masyarakat. Kalau untuk masyarakat yang sudah sejahtera, penerbangan adalah sarana transportasi untuk berbisnis dan berwisata. Sangat berbeda bagi masyarakat yang masih memerlukan kehidupan yang sejahtera di tempat terpencil, penerbangan adalah harapan.

Pemerintah sudah memiliki program penerbangan perintis, bahkan sejak tahun 2017 ada angkutan udara perintis barang. Tahun 2018 angkutan udara perintis barang disubsidi untuk 41 rute dari sebelumnya hanya 12 rute. Anggarannya Rp 106 miliar dari sebelumnya hanya Rp 33 miliar. Untuk angkutan udara perintis penumpang, tahun 2017 ada 188 rute, sedangkan tahun 2018 menjadi 209 rute. Namun anggarannya berkurang dari Rp 568 miliar jadi hanya Rp 480 miliar.

“Angkutan perintis ini perlu mendapat perhatian khusus dari kita semua. Salah satunya karena keterbatasan armada yang dimiliki maskapai.” Begitu yang dikatakan Direktur Angkutan Udara Maria Kristi Endah Murni dalam Rapat Koordinasi I Angkutan Udara Perintis di Denpasar pada akhir Januari 2018.

Kalau rute bertambah, sementara maskapai penerbangan tidak memiliki pesawat, bagaimana penerbangan perintis itu bisa dijalankan? “Pemainnya” saat ini adalah Susi Air dan Dimonim Air yang masing-masing mengerahkan pesawat Cessna Caravan, CASA 212, Twin Otter, atau Pilatus Porter, hanya hitungan jari. Sementara Trigana Air dan ada Airfast Indonesia sebagai pendatang baru, hanya mengoperasikan masing-masing satu pesawat Twin Otter.

Bagus Sunjoyo yang pada tahun 2008-2016 menjadi Kepala Balai Besar Kalibrasi Fasilitas Penerbangan (BBKFP), mengusulkan agar BBKFP menjadi operator penerbangan perintis. Balai yang sejak awal 2016 sudah menjadi BLU (Badan Layanan Umum) ini memang memiliki AOC (Air Operator Certificate) 135, yang bisa mengoperasikan pesawat-pesawat berkapasitas di bawah 30 kursi. Namun usul ini tak terjawab.

Apa kabar pula N219 Nurtanio, yang peruntukannya untuk penerbangan perintis? Andi Alisjahbana sudah memetakan sebaran pesawat rancangan PT Dirgantara Indonesia ini di Papua, khususnya. Namun uji penerbanganya belum selesai, sertifikat belum keluar, dan tentu belum ada produksi.

Saya pernah ke Bandara Tempuling di Riau dengan penerbangan perintis CASA 212 Susi Air. Untuk tahun 2017, baru Maret diterbangi, sehingga Januari-Februari penerbangan seminggu sekali itu terhenti. Kalau pesawat ada kerusakan, penerbangan terhenti pula. Untung masih ada moda lain, walaupun dengan waktu yang lama dan tidak efektif. Bagaimana kalau di Papua?

Penerbangan di Papua itu vital. Banyak penerbangan perintis di sini. Namun ada pernyataan dari Kementerian Perhubungan bahwa aspek keselamatan pada penerbangan perintis belum memenuhi standar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Karena itu, katanya, ke depan aspek keselamatan pada penerbangan perintis akan lebih mendapatkan perhatian. Kapan ya?

Foto: Reni