Industri Penerbangan 4.0 yang berbasis teknologi informasi digital (siber), selain meningkatkan kinerja bisnis dan operasional, rupanya juga berpotensi ancaman yang sangat serius. Hal ini pun harus diantisipasi sedini mungkin.
Menurut Pelaksana Tugas Dirjen Perhubungan Udara M Pramintohadi Sukarno, adopsi teknologi informasi dan komunikasi dalam bisnis proses saat ini adalah suatu keharusan di berbagai bidang, termasuk di penerbangan. Manfaat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi adalah untuk meningkatkan konektivitas, keamanan dan efisiensi biaya. Semua hal dalam penerbangan seperti bisnis, operasional, layanan darat, komunikasi-navigasi dan surveillance (CNS), infrastruktur bandara, manajemen lalu lintas udara (ATM), dan rantai pasokan kargo udara sekarang menggunakan sistem siber.
“Namun ada kerentanan dan peluang sistem untuk dieksploitasi yang disebut serangan siber. Serangan siber dapat terjadi dalam sistem reservasi tiket penerbangan, teknologi bandara, sistem informasi dan sebagainya. Untuk itu perlu sistem keamanan siber yang kuat. Sistem keamanan siber diperlukan dalam penerbangan sehingga serangan siber dapat dilawan sedini mungkin dan dapat diperbaiki dengan cepat,” ujar Pramintohadi, Selasa (18/9), di Jakarta, dalam sebuah forum pertemuan dengan Otoritas Penerbangan Amerika Serikat (Federal Aviation Administration/ FAA).
Pertemuan itu merupakan forum pertukaran informasi dan best practices terkait bentuk ancaman kejahatan siber, perkembangannya serta penanganannya di sektor penerbangan sipil dalam rangka meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan.
“Para peserta dan pembicaranya orang-orang yang sangat berkompeten di bidang tersebut. Yaitu dari Badan Siber dan Sandi Negara, Direktorat Keamanan Penerbangan Ditjen Hubud, Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, AirNav Indonesia, PT. Angkasa Pura 1 dan 2, PT. Garuda Indonesia, dan PT. Lion Mentari Airlines. Sedangkan dari Amerika hadir sebagai pembicara dari Palo Alto Networks, Raytheon, Honeywell, Cisco, dan FAA Representative Southeast Asia. Jadi saya harap hasil pertemuan tersebut bisa menjadi bahan mengembangkan sistim untuk mengantisipasi kejahatan siber pada penerbangan nasional Indonesia,” lanjutnya.
Menurut Direktur Keamanan Penerbangan Ditjen Hubud, Nur Isnin Istiartono, Indonesia telah mengadopsi aturan internasional terkait keamanan siber di penerbangan ke dalam aturan keamanan penerbangan nasional.
“Aturan internasionalnya tertuang dalam Annex 17 dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Kami telah mengadopsinya dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor PM 80 Tahun 2017 tentang Program Keamanan Penerbangan Sipil Nasional,” ujarnya.
Lanjut Isnin, dalam peraturan itu disebutkan bahwa operator bandara, maskapai penerbangan nasional dan asing, navigasi udara Indonesia dan badan hukum yang telah didelegasikan harus melakukan pengukuran untuk melindungi kerahasiaan, integritas dan ketersediaan sistem teknologi informasi dan komunikasi dan data yang terkait dengan siber. Seluruh stakeholder harus membentuk unit keamanan siber untuk membuat rencana penanganan. Mereka juga punya kewajiban untuk melapor kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara jika terjadi serangan siber dan membuat prosedur penanganan.
“Kita perlu mempersiapkan Sumber Daya Manusia, menciptakan sustainable system yang updated dan dapat termaintain. Untuk itu kita sudah mengumpulkan stakeholder dan menyamakan persepsi bahwa penanganan kejahatan siber ini penting. Kita sama-sama belajar dari Amerika yang sudah lebih dulu punya sistemnya. Kedepannya kita harus bekerja sama untuk membangun sistem dan standar prosedur operasi keamanan siber penerbangan di Indonesia,” kata Isnin.