Pembatasan kecepatan di jalan tol sampai saat ini masih banyak dilanggar pengemudi kendaraan. Sayangnya, alat ukur atau pemantau kecepatan (speed camera) di jalan tol baru ada satu di tol Jagorawi. Padahal kecelakaan yang terjadi karena melanggar aturan batas kecepatan persentasinya 14%, nomor tiga terbesar dari faktor aspek manusia setelah akibat tidak tertib (45%) dan lengah (34%).
“Kepolisian akan menerapkan pasal berlapis terhadap pelaku kecelakaan itu. Tidak hanya dengan KUHP, tapi juga pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ,” kata Risal Wasal, Direktur Prasarana Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan di Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Menurut Risal, Korlantas Polri dan Ditjen Perhubungan Darat akan mendorong penindakan hukum pelanggaran pasal 277 UU Nomor 22/2009 tentang Modifikasi kendaraan tanpa melalui prosedur. Begitu juga dengan tindakan hukum pelanggaran kecepatan tinggi dan kecepatan rendah.
“Yang berkecepatan rendah dipastikan karena odol (over dimension dan over loading). Nanti petugas akan menindaknya setelah keluar dari pintu tol,” ujar Ahmad Yani,
Direktur Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat.
Yani menjelaskan, pada Maret ini terjadi kecelakaan di jalan tol secara beruntun. Karena itu, pihaknya mengadakan rapat yang dihadiri seluruh stakeholders pada 8 Maret 2019 pagi. Rapat dihadiri oleh pemangku kepentingan dari Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Korlantas Polri, Asosiasi Tol Indonesia (ATI), BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol), BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek), Ditjen Bina Marga, Jasa Marga, dan Jasa Raharja.
Menurut Yani, pada awal Maret 2019 terjadi enam kejadian; tanggal 1 Maret satu kejadian, 3 Maret tiga kali, dan 4 Maret dua kali, yang menyebabkan sembilan korban jiwa. Dari data Polri, tahun 2018 terjadi 1.135 kejadian di jalan tol, lebih banyak dari tahun 2017 yang 1.070 kejadian. Sementara itu, akibat kecelakaan di jalan raya menelan korban jiwa 29.000 orang tahun 2018 dan sekitar 30.000 jiwa pada tahun 2017.
Risal menambahkan, kerapnya kecelakaan yang terjadi di jalan tol mendorong dibentuknya tim kelompok kerja (pokja) untuk mencegah dan memperbaiki kualitas keselamatan. Tim Pokja beranggotakan seluruh pemangku kepentingan yang hadir pada rapat tersebut.
“Tugas pertama Tim Pokja adalah melakukan evaluasi serta pemetaan data kecelakaan, penyebab, dan blackspot atau area rawan kecelakaan. Kemudian akan dilakukan sosialisasi di rest area secara terus menerus,” ujar Risal.
Tim juga akan melanjutkan pemasangan CCTV speed camera di beberapa ruas tol berdasarkan hasil mapping blackspot. Kata Risal, “Di seluruh jalan tol pada blackspot akan dipasang speed camera yang menjadi tanggung jawab pengelola jalan tol.”
Bukan hanya itu, Tim Pokja juga akan meningkatkan pemasangan rumble strip, rambu batas kecepatan, marka profil, serta pemasangan papan peringatan neonbox dan warninglight. Di samping itu, tim akan mendorong percepatan pemasangan stiker pemantul cahaya pada truk yang melalui jalan tol. Stiker akan disediakan Ditjen Perhubungan Darat berdasarkan standar internasional dan pabrikan, yang bisa terlihat dari jarak minimal 200 meter.
“Di jalan tol, truk harus melaju di lajur satu atau lajur satu dan dua jika lebih dari dua ruas jalan; tidak boleh berada di lajur kanan. Dengan catatan, operator jalan tol memasang rambu atau marka untuk jalur truk,” tutur Risal.