Para Pakar Kupas Rencana Masuknya Maskapai Asing di Indonesia

Inisiatif Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencetuskan mengundang maskaspai asing melayani penerbangan di Indonesia mendapat banyak sorotan dari berbagai pihak. Inisiatif menjadi langkah Jokowi sebagai solusi harga tiket penerbangan domesitk yang masih tinggi. Sejumlah pakar dari berbagai latar belakang dalam forum diskusi Pusat Studi Air Power Indonesia pun tergerak mengupas lebih dalam rencana tersebut.

Dalam pertemuan keenam forum diskusi ini pada Rabu (12/6/2019) kemarin di Jakarta, Guru Besar Hukum Internasional dan Hukum Ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana mencoba menggali lebih dalam hal apa yang sebenarnya mendasari tercetusnya ide mengundang maskapai asing sebagai solusi maskapai yang belum menurunkan tiket penerbangan ke harga normal.

“Saya tidak tahu apakah apa yang disampaikan bapak presiden itu sudah merupakan kajian dari Kementerian Perhubungan lalu disampaikan (kepada presiden), kemudian presiden menyampaikan. Atau bapak presiden menyampaikan begitu saja,” ungkap Hikmahanto dalam forum rutin bulanan tersebut.

Dia mengatakan, kalau memang inisiatif yang disampaikan Jokowi terlontar begitu saja tentu ada pemakluman, dengan harapan bahwa ini hanya wacana. Karena Menteri Perhubungan pun telah mengatakan bahwa inisiatif tersebut hanya alternatif, bukan sesuatu kebijakan yang akan diambil dalam waktu dekat.

AirAsia Sebagai Contoh

Menurut Hikmahanto, membuka keran maskapai asing mengisi layanan penerbangan di ruang udara nasional bukan hanya permasalahan keamanan, namun juga ada aspek komersialisasi.

“Dalam perspektif saya adalah masalah commerciality dari angkutan udara. Karena yang namanya traffic, baik itu barang, penumpang (orang) atau cost, ternyata ada nilai ekonominya,” ungkapnya.

“Maka kita tahu bahwa antar negara, kalau misalnya ada pesawat yang membawa traffic, itu harus ada fly letter agreement (kebebasan udara berdasarkan dalam Regulasi Transportasi Udara Internasional Doc 9626, Part 4), dinegosiasikan. Oleh karena itu, dalam konteks hukum udara ada yang namanya fly freedom.”

Dijelaskan dia, dari hak 9 kebebasan udara dalam regulasi internasional tersebut, hak pertama dan kedua tidak perlu dinegosiasikan. Sementara hak ketiga, keempat dan kelima yang harus dinegosiasikan karena punya nilai bisnis

“Nah, antar negara itu seperti itu. Kok tiba-tiba dalam konteks jalur domestik mau di-introduce, seolah-olah maskapai asing masuk. maskapai asing masuk ini maksudnya apa?”

Dia mencontohkan seperti AirAsia di Indonesia. Maskapai asal Malaysia itu masuk ke Indonesia dengan mengakuisisi PT AWAIR yang sudah bangkrut. Maskapai ini beroperasi dan berbadan hukum di Indonesia.

“Mengundang maskapai asing apakah dalam konteks seperti itu, atau mengundang maskapai asing itu adalah maskapai tidak berbadan hukum Indonesia, tapi berbadan hukum asing yang melayani jalur-jalur domestik,” ungkapnya.

Dia mengatakan, jika memang maskapai nasional tidak mampu, mengundang maskapai asing untuk layani penerbangan domestik boleh saja, karena itu terjadi di Afrika.

“Masalahnya bagi saya, apakah di Indonesia ini kita tidak mampu membangun jaringan itu? Apa masalah tiket murah ini? Lalu pertanyaannya, kenapa soal tiket yang membumbung itu diterjemahkan dengan liberalisasi dari dunia penerbangan. Nah ini yang menurut saya agak menjadi tanda tanya besar, itu perlu diinvestigasi,” tandasnya.

Undang Maskapai Asing Bukan Jaminan

Jadi melihat dari perspektif hubungan internasional seperti yang disampaikan Hikmahanto, pengamat penerbangan yang memimpin diskusi siang itu, Chappy Hakim menilai ada beberapa poin yang menarik. Salah satu yang menonjol dalam paparan Hikmahanto menurutnya adalah tentang apakah birokrasi tahu apa tidak apa yang disampaikan presiden.

“Jadi itu menjadi kata kunci juga,” ungkap mantan Kepala Staf Angkatan Udara ini.

Chappy pun memandang, mengundang maskapai asing bukan jaminan harga tiket pesawat bisa turun.

“Kita harus benar-benar bisa memahami bahwa masalah-masalah yang kita hadapi di dunia penerbangan harus ditelaah terlebih dahulu. Apa sebenarnya yang terjadi?

Dia menyarankan perlu adanya telaah mendalam sebelum memutuskan mengundang maskapai asing. Jangan sampai setelah mengundang maskapai asing, masalah-masalah baru justru timbul dan membuat masalah baru yang sulit untuk diatasi.

“Dia bisa membuat another promblem yang kita tidak bisa perkirakan problem-nya seperti apa sampai dia muncul ke permukaan lagi dan kita kaget lagi,” ungkapnya.

Lakukan Analisis Dampak Regulasi

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta, Prof. I.B.R Supancana menanyakan, apakah dalam permasalahan maskaspai asing ini birokrasi telah menjalankan analisis dampak regulasi (Regulatory Impact Analysis/ RIA). Karena menurutnya, RIA sebagai cara sistematik untuk memperbaiki kualitas regulasi, baik dari sisi desain maupun dari sisi inspeksi.

Dia menjelaskan, hal pertama dalam RIA adalah, terkait harga tiket penerbangan yang masih tinggi, apakah pihak terkait sudah mengidentifikasi akar masalah dengan benar. Karena menurutnya banyak gejala yang menyebabkan tiket menjadi mahal, seperti avtur, tagihan bandara, SDM, hingga penerbangan global.

“Kadang-kadang kita menganggap symptom (gejala) sebagai akar masalah. Kalau dalam dunia kedokteran, diaknosis itu untuk mencari akar masalahnya, baru kita bisa memberikan obat yang tepat,” ujarnya.

Artinya, lanjut Supancana, identifikasi masalah dan problems definition yang benar itu akan sangat menentukan langkah-langkah selanjutnya.

“Pertanyaannya adalah apakah harga tiket mahal itu akar masalahnya? Atau harga tiket mahal itu hanya akibat? Jadi sebenarnya apa akar masalahnya?”

Dia menilai, dari semua gejala, fenomena dan fakta yang ada, akar masalahnya kemungkinan adalah inefficiency di dalam penerbangan nasional. “Inefficiency ujung-ujungnya harga (tiket) mahal. Kalau inefficiency, maka tujuan apa yang hendak kita capai? Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi,” kata dia.

Menurutnya, ada 2 opsi yang bisa lakukan untuk menghadapi akar masalah tersebut. Opsi pertama adalah tidak melakukan apa-apa dan opsi kedua menata ulang sistem transportasi udara Indonesia.

Sejumlah pakar penerbangan dari berbagai latar belakang keahlian yang hadir dalam forum diskusi Pusat Studi Air Power Indonesia di Jakarta, Rabu (12/6/2019). Sumber gambar: Angkasa.news/ Beny Adrian

“Saya menganggap pertemuan kita ini pertemuan yang sangat ideal sebagai suatu bentuk public consultation in the law/ policy making process. Kalau saya bandingkan di dalam penataan regulasi di berbagai negara, fungsi yang kita laksanakan sekarang ini adalah fungsi regulatory advising,” ungkapnya.

Dengan melakukan public consultation in the law/ policy making process, hal lain yang dapat diidentifikasi adalah siapa yang akan paling terkena dampak dari suatu kebijakan atau regulasi. “Seberapa jauh dampaknya? Kalau negatif, bagaimana meminimalisir dampak itu?” jelasnya.

Dia juga menguraikan, dalam reformasi birokrasi di berbagai negara, public consultation yang berhasil akan menentukan level of compliance dari suatu regulasi. “Makin tinggi level of compliance, maka efektifitas efisiensi dari suatu kebijakan atau regulasi makin bagus, tujuannya tercapai,” tegasnya.

Dari paparannya, dia menekankan bahwa tidak ada jalan yang instan untuk mencari dan menyelesaikan akar masalah.

“Kita harus menggunakan the right tools untuk melakukan suatu bentuk kajian komprehensif terhadap isu tingginya harga tiket pesawat dan usulan masuknya maskapai penerbangan asing. Usulan masuknya penerbangan asing itu merupakan hanya salah satu alternative to regulation or policy, bukan suatu kebijakan. Karena proses menentukan kebijakan harus melalui tahapan-tahapan yang benar,” pungkasnya.