Menyoal BPTJ yang Belum Bisa Urai Kemacaten Jakarta

Assalamualaikum semua …

Masalah kemacetan di Jakarta dan sekitarnya pasti bikin pusing. Apalagi kalau persoalannya tak kunjung terpecahkan. Namun kata Jusman Syafii Djamal, Menteri Perhubungan periode 2007-2009, masalah kemacetan sudah dalam penyelesaian. Alasannya, sekarang sedang dan sudah dibangun infrastruktur yang dapat mengurai kemacetan itu.

Sebut salah satunya, prasarana MRT atau Mass Rapid Transit yang pada 24 Maret 2019 operasional sarananya juga diresmikan Presiden Joko Widodo. Prasarana LRT atau Light Rail Transit dan juga penambahan jalan tol sedang dibangun dan segera rampung. Ditambah lagi sarana bus, khususnya TransJakarta, makin banyak dengan rute yang menjangkau banyak tempat.

Melihat kondisi itu, kata Jusman, masalah kemacetan bukan karena ketidakmampuan institusi atau lembaga, seperti BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek), dalam mengatasinya. “Ini menilai institusi yang merangkak tumbuh,” ujarnya ketika bicara dalam diskusi “Bedah Peran Strategis BPTJ” di Jakarta, Kamis (21/3/2019).

“Jangan bilang BPTJ tidak efektif,” ucap Jusman, “Ada inspirasi kebijakan dari beberapa otoritas di wilayah Jabodetabek yang harus diatasi dengan power. Menteri Perhubungan harusnya bisa mengatasi ini dan BPTJ merupakan desentralisasi otoritas dari Menhub itu.”

Jusman pun membeberkan kelemahan BPTJ saat ini. Bukan dari KPI (Key Performance Indikator) atau indikator kinerja utama juga tingkah laku tata kelola manajemen, tapi ada kekurangan prioritas dalam memberikan sinergitasnya. KPI BPTJ memang sudah jelas, bahkan terinci, seperti dalam 10 tahun, 60% masyarakat sudah menggunakan kendaraan umum.

Tidak mudah mengatur sistem transportasi nasional, yang kalau dulu diterjemahkan di daerah. Ada sisi mata uang yang lain, yang patut diperhatikan dengan fokus pula. Di samping infrastruktur dan layanan, ada mobilitas urban.

“Ini seperti di Tokyo dan Hongkong. Ada freedom of movement yang berbeda. Orang mencari tempat hunian yang murah di pinggiran, sementara bekerja di kota Jakarta. Ini tak bisa ditentukan oleh kebijakan,” tutur Jusman.

Pengenalan tingkah laku masyarakat harus menjadi perhatian. Mereka juga harus mendapat insentif, apa itu berupa kecepatan atau dari sisi biaya transportasi. Hal ini tergantung dari keterjangkauan mobilitas urban itu. Maka BPTJ tak harus seperti birokrat. Kinerjanya harus melalui pendekatan ekonomi dan produktivitas.

Di sisi lain yang harus diperhatikan pula adalah kehadiran BPTJ jangan jadi kendala tupoksi di daerah. Misalnya mobilitas dari pengguna jasa kereta komuter, yang sebelumnya pergerakannya 400.000 orang menjadi 1,2juta orang per hari. Ini memerlukan otoritas BPTJ.

“Karena itulah, kita harus menghadirkan pemikiran beda, bukan pengebirian otoritas yang sudah ada,” tutur Jusman, seraya menambahkan bahwa BPTJ harus dilindungi layaknya balita –BPTJ baru berkiprah akhir tahun 2015. Jadi, BPTJ harus dikembalikan pada perannya sebagai badan dengan sinkronisasi, sinergi, dan simpel.