Pusat Studi Air Power Indonesia kembali menggelar pertemuan rutinnya di Perpustakaan Nasional, Rabu (6/2/2019). Dalam pertemuan kedua ini para akademisi dan praktisi penerbangan yang hadir mencoba membangun dan mengelaborasi pemikiran untuk menguatkan kekuatan udara nasional Indonesia.
Diskusi komprehensif ini membahas dua hal penting, yakni yang bersifat pada tataran ide atau pemikiran visioner, kemudian hal yang sifatnya realistis yang masih hangat diperbincangkan.
“Pertama adalah hal yang sangat ide sifatnya (pemikiran) atau berupa visi. Dan yang dua adalah yang sangat down to earth, yang sangat realistis, yang sangat up to date,” kata Marsekal TNI (pur) Chappy Hakim.
Isu-isu yang dibahas yang dibahas secara mendalam di antaranya mengenai flight information region (FIR), kebijakan bagasi berbayar yang diterapkan maskapai low-cost carrier (LCC) dan lemahnya Indonesia dalam hal dokumentasi serta penelitian dan pengembangan kedirgantaraan. Isu-isu mengenai hukum udara dan masyarakat hukum udara pun juga turut menjadi topik yang diperbincangkan.
Perkumpulan ini mencoba menelaah dan mengidentifikasi masalah-masalah di dunia penerbangan nasional dalam pemahaman masing-masing orang yang hadir untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Ridha Aditya Nugraha, akademisi penerbangan dari Air and Space Law Studies – International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya, memaparkan bahwa generasi pelajar Indonesia sering kali keliru dalam pandangannya dalam hal literasi. Mereka umumnya menganggap bahwa literasi yang bagus adalah yang berbahasa Inggris dan yang dirilis oleh berbagai universitas terkemuka di dunia.
“Padahal tidak selalu seperti itu. Ada juga kok literasi yang dibuat oleh orang Indonesia yang bagus-bagus, namun memang sayangnya sang penulis kurang terkenal. Yang terjadi adalah, ujung-ujungnya mindset yang terbangun di kalangan SMA, mahasiswa S1, S2, bahkan S3 adalah mindset yang terbentuk dari bacaan yang terdapat dengan perspektif yang sama,” jelasnya.
Terkait dengan aspek kedaulatan udara, ia juga menyinggung bahwa sering kali indonesia berbicara mengenai aspek-aspek keselamatan, keamanan dan sebagainya, namun sering kali lupa akan hal yang lebih dalam lagi.
Ia mencontohkan seperti halnya permasalahan FIR. Dalam permasalahan ini, Indonesia masih memiliki kekurangan yang mendasar, salah satunya terkait informasi dan dokumentasi.
“Seberapa saya yakin kertas yang ada di atas meja ini (dukumen-dukumen dalam persidangan internasional yang dimunculkan pihak lain) adalah asli. Bagaimana kalau ini direkayasa dan sebagainya. Terlepas dari ahli topografi, peta dan sebagainya yang kita miliki, sayang kita belum memiliki banyak kajian optimal akan keabsahan citra satelit, terpenting test case serta kajian sejauh mana dapat digunakan dalam pembuktian hukum,” jelasnya.
Dia berharap, melalui Pusat Studi Air Power Indonesia, perkumpulan ini dapat menggandeng dan menyediakan fasilitas serta berbagi informasi yang didokumentasikan dengan baik.
Sementara itu, Prita Amalia, dosen dan peneliti di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, juga menyoroti sejumlah fenomena di dunia penerbangan nasional. Salah satunya ia menyebutkan bahwa kedaulatan udara mungkin adalah hal dasar, namun interpretasinya dapat meluas.
“Sampai akhirnya menurunkan kaidah-kaidah yang lain atau mengangkat (isu) seperti open skies policy, atau kenapa sekarang ada namanya schedule flight/non-schedule flight, semua mengarah ke sana,” ujarnya.
Ia juga mengamati sekelumit tentang bagasi berbayar yang diterapkan maskapai LCC. “Permasalahan yang terjadi sekarang itu di masyarakat kita adalah masalah edukasi, yang mungkin harus rajin-rajin di sampaikan,” kata dia.
Selain itu Prita juga menyinggung peristiwa nahas jatuhnya armada pesawat Boeing 737 MAX 8 beregistrasi PK-LQP milik maskapai Lion Air dalam penerbangan JT 610.
Ia memandang, dari peristiwa ini yang menjadi subjek adalah maskapainya. Menurutnnya, padahal sebetulnya dalam industri penerbangan banyak subjek hukum lain yang perlu tersentuh atau dipopulerkan.
Atau masalah terkait jatuhnya JT 610 itu yang muncul adalah airline yang selalu menjadi subjek paling besar. Tetapi juga sebetulnya dalam industri penerbangan ini banyak subjek hukum lain yang sebetulnya perlu tersentuh atau perlu dipolulerkan.
Chappy Hakim yang memoderatori diskusi ini menyebutkan bahwa memang Indonesia memiliki dua kelemahan.
“Yang pertama kita lemah dalam dokumentasi, yang kedua kita sangat lemah dalam R&D (research and development). refleksi dari dua kelemahan itulah yang kita hadapi sekarang,” kata Chappy.
Menurutnya, orang tidak mempunyai pemikiran-pemikiran dalam penelitian dan pengembangan, maka dia akan berhadapan dengan masalah-masalah di saat-saat terakhir (last minutes).
“Kita kan senang dengan last minutes. Apa artinya itu, alergi dengan perencanaan. Dan lebih parah lagi, kita sekarang berada di lingkup pemikiran yang lima tahunan sifatnya. Inilah permasalahan-permasalahan yang harus kita garis bawahi bersama-sama dan itulah tugas kita nanti untuk influencing para decision maker.
Ia menyebutkan bahwa menyongsong air and space sebagai masa depan (the future) adalah tugas para akademisi dan praktisi Tahan Air yang memiliki pemikiran-pemikiran visioner untuk dunia kedirgantaraan nasional.
“Kita himpun (pemikiran) bersama-sama untuk mencoba influencing para decision maker dan juga mencoba menampung pemikiran-pemikiran dari para orang di lapangan apa masalahnya,” tutupnya.