PT Angkasa Pura (AP) II merespons dinamika industri penerbangan yang bergerak cepat. Prestasi membanggakan pun diraihnya minggu lalu (12/6/2019), dengan bercokolnya Bandara Internasional Soekarno-Hatta di posisi 71 dari daftar “Top 100 Indonesia Most Valuable Brands 2019”.
Valuasi merek (brand value)-nya mencapai 72 juta dollar AS, berdasarkan kajian konsultan independen asal Inggris, Brand Finance bekerja sama dengan majalah SWA. Ini pertama kalinya Soekarno-Hatta berada dalam jajaran merek paling mahal dan satu-satunya bandara yang mampu menjadi merek paling mahal.
Presiden Direktur PT AP II (Persero) Muhammad Awaluddin mengatakan, kesuksesan tersebut merupakan hasil dari transformasi yang tengah dijalankan perusahaan. “Ada tiga transformasi yang sedang kami lakukan, yaitu business & portfolio transformation, infrastructure & operation system transformation, dan human capital transformation. Transformasi ini untuk menjadikan Soekarno-Hatta sebagai the best smart connected airport in the region,” tuturnya.
Di sisi lain, Awaluddin mengakui kalau AP II terlambat melakukan pengembangan perusahaan, terutama dalam inorganic business atau bisnis yang keluar dari yang biasa dilakukan. “Kita tak ingin mengatakan terlambat, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ini sekarang sudah eranya,” katanya di Jakarta, Mei 2019.
Ditambahkannya, “Rata-rata global airport operator sudah melakukan hal tersebut. Sebut saja Changi Airport yang juga mengelola 25 bandara di luar Singapura. Incheon Airport juga sangat agresif. Kita tahu Malaysia Airport Berhard juga mengelola beberapa bandara lain.”
Menurut Awaluddin, mengelola bandara lain di regional sebagai bagian dari strategi dalam inorganic business. Hal ini merupakan suatu cara baru yang dipercaya untuk mempercepat pertumbuhan perseroan. Pertama kali gagal untuk mengelola bandara di Filipina, dijadikannya pelajaran berharga. “Ada tiga airport lagi yang akan kita masuki.”
AP II sebagai operator bandara sudah berkembang sekaligus sebagai investment company, ditandai dengan capital expenses (capex)-nya yang cukup besar. Dari tahun ke tahun rata-rata di atas Rp10triliun. “Komponen capex-nya harus bervariasi, tidak melulu capex itu diletakkan di porsi untuk organic business saja. Dari capex AP II tahun 2019 yang Rp14 triliun, sebagian atau Rp1,7triliun ditaruh di alokasi capex inorganic business,” ujarnya.
Tentu saja, kata Awaluddin,
AP II mempersiapkan sumber daya manusianya. “Dalam waktu dekat, organisasinya juga akan direstrukturisasi, termasuk nanti memungkinkan ada unit baru yang mengelolanya. Saat ini masih engage dengan organisasi yang existing, nanti akan expand organisasinya dengan unit baru.”
Tentang SDM, Awaluddin mengatakan, sangat mungkin memperkerjakan para profesional dari luar negeri. “Tapi kan kita dalam konteks itu melibatkan banyak pihak. Katakanlah, untuk independent consultant, kita bisa hire dari luar. Untuk penilai atau evaluasi bisnisnya bisa dari KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) dari luar. Ini sesuatu yang biasa dalam mekanisme penentuan object inorganic business.”
Potensi SDM dari dalam AP II, kata Awaluddin, membutuhkan waktu, tapi ada. “Selama ini kita mengelalo inorganic business tidak seintensif sekarang dan dulu kan satu atau dua tahun baru ada satu. Sekarang kita sudah jadikan bagian dari operasi bisnis perusahaan; sudah jadi bagian keseharian saja.”