Assalamualaikum semua …
Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Ari Askhara dalam konferensi pers di Jakarta kemarin (13/1/2019) menyebutkan bahwa maskapai penerbangan nasional saat ini, bahkan sejak lima tahun terakhir, berada di tengah kesulitan bisnis. Dkatakannya, “Di tengah kesulitan para maskapai, kami tetap paham dan mengerti akan kebutuhan masyarakat dan kami memastikan komitmen memperkuat akses masyarakat terhadap layanan penerbangan nasional serta keberlangsungan industri penerbangan nasional tetap terjaga.”
Berapa maskapai penerbangan berjadwal yang saat ini masih bertahan? Sekjen INACA Tengku Burhanuddin memberikan data yang disebutnya, “Survival of the fittest.”
Ada 13 maskapai yang masih beroperasi berjadwal, yakni Garuda Indonesia, Citilink Indonesia, Sriwijaya Air, NAM Air (Garuda Indonesia Group); Lion Air, Batik Air, Wings Air (Lion Air Group); AirAsia Indonesia dan Indonesia AirAsia X (AirAsia Group), serta Trigana Air, TransNusa Aviation, Express Air, Susi Air (Third Liners). Sebelumnya ada Pelita Air Service, yang melepaskan penerbangan berjadwalnya dan hanya operasi carter.
Tahun 2000-an, kata Tengku, puluhan maskapai berjadwal menghiasi penerbangan Indonesia. Mereka sudah tutup operasi. Kita sebut semua: Sempati Air, Efata Papua, Bali Air, Air Paradise, Asia Avia Airlines, Bayu Indonesia, Dirgantara Air, Pacific Royal, Kaltim Air, Megantara Air, Riau Airlines, Seuwalah NAD Air, TOP Air, Pelita Air, Indonesian Airlines, Bouraq Airlines, Adam Air, Linus Airway, Star Air, Jatayu Airlines, Batavia Air, Sky Aviation, dan Kalstar Aviation.
Ada 23 maskapai, bahkan lebih, yang tutup sejak akhir 1990-an sampai 2016. “Semoga yang survival tidak mengikuti,” harap Tengku.
Biaya tinggi untuk operasional maskapai penerbangan memang tidak bisa ditawar lagi. Namun upaya-upaya untuk mengurangi biaya itu, khususnya yang signifikan, terus dilakukan. Kabarnya, Kementerian Perhubungan pun sudah melakukan pembicaraan soal penurunan harga avtur dengan Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN.
Biaya untuk avtur sangat tinggi untuk operasional penerbangan, mencapai 30%-40%-nya. Beban lainnya adalah fluktuasi kurs dollar AS yang melonjak dari Rp9.000, Rp11.000, sampai Rp15.000 dan sekarang sedikit turun lagi. Kurs dollar digunakan untuk sewa pesawat dan beberapa komponen lain yang persentasenya di atas 20% dari biaya operasi penerbangan.
INACA juga melakukan pembicaraan dengan para pemangku kepentingan lain, yakni pengelola bandara dan navigasi penerbangan. Walaupun tidaklah sebesar biaya avtur, tapi pengurangan biaya dari bandara dan navigasi bisa mengurangi beban biaya operasional maskapai.
Maskapai penerbangan teruslah bertahan dan terbang dengan keselamatan tinggi.