Ketua DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto mempertanyakan implementasi pemberlakuan bagan pemisah alur laut atau traffic separation scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok. Apakah seperti TSS di Selat Malaka dan Selat Singapura?
“Saya ingin tanya goals-nya seperti apa? Selat Malaka itu dikurangi kegiatannya, jadi pakai Selat lombok dan Selat Sunda karena benar-benar Indonesia?” katanya.
Hal ini mengemuka pada diskusi online (diskon) bareng Forum Wartawan Kementerian Perhubungan (Forwahub), Kamis (25/6/2020). Carmelita juga mengatakan, “Involvement di Selat Malaka itu ada Malaysia dan Singapura. Dibuka Selat Lombok dan Selat Sunda, yang lebih dekat ke Australia, apa itu yang diinginkan pemerintah?”
Menurut dia, pemberlakuan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok memang sudah disetujui International Maritime Organization (IMO). Selama ini di Selat Malaka, yang bisa dibilang Selat Sumatera karena melalui perairan indonesia, dikuasai Singapura dan Malaysia, sementara Indonesia “gigit jari”.
Kapal-kapal yang melewati Selat Malaka sampai ribuan. “Sebulan bisa 3.000 kapal. Pooling-nya Singapura dengan pemanduan elektronik, bukan pandu yang ditarik lagi. Kapal-kapal Korea dan Cina lebih senang pooling di Singapura daripada bayar ke Indonesia,” tutur Carmelita.
Dipertanyakannya, apakah akan banyak kapal lewat Selat Sunda dan Selat Lombok untuk ke Australia? Apakah Selat Malaka akan terus dijalankan juga atau tidak? Apakah kita kena wajib pandu? Berapa biayanya? Apakah Singapura dan atau negara lain mau terima itu?
“Makanya harus dipertanyakan. Lagipula jangan sampai ada biaya. Kasihan INSA yang sudah bonyok,” ucapnya. Apalagi dengan penggunaan vessel traffic service (VTS), kapal-kapal mesti memiliki generator sebagai sumber listriknya.
Penasehat INSA, Witono Soeprapto mengapresiasi kerja keras Kementerian Perhubungan untuk pemberlakuan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok sampai disetujui IMO. “Indonesia juga punya kewajiban untuk menjaga keselamatan pelayaran, sesuai tujuan TSS itu,” ujarnya.
Namun untuk pelaksanaannya membutuhkan sosialisasi domestik serta bagaimana cara berkomunikasi dan penegakan hukum TSS di situ. Maka INSA juga mengharapkan agar Indonesia melengkapinya dengan coast guard, yang sampai saat ini belum ada. “Paling tidak, ini untuk menjaga keselamatan dan keamanan maritim nasional,” kata Witono.
TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok yang dicanangkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan akan diberlakukan mulai 1 Juli 2020 melalui pengesahan oleh IMO dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I dan II.
Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Ditjen Perhubungan Laut, Ahmad mengatakan, “Selat Sunda berada dalam jalur lintas kapal yang dikategorikan sebagai ALKI I dengan lalu lintas yang sangat padat dan cukup ramai di wilayah tersebut serta bebasnya kapal-kapal asing yang melintas. Pemberlakuan TSS Selat Sunda merupakan upaya pemerintah untuk menjamin keselamatan lalu lintas pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim.”
Setelah berbagai kesiapan menjelang pemberlakuan TSS tersebut, Kementerian Perhubungan menggelar Apel Kesiapan dan Latihan Basah di Pelabuhan Merak, Banten, hari ini (27/6/2020).