Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengakui kalau harga avtur di dalam negeri relatif lebih tinggi daripada di negara tetangga. “Harga di Jakarta lebih tinggi dari harga di Singapura dan Hong Kong,” ujarnya pada Discussion dan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Polemics and Prospects of the Aviation Industry: Airfares, Competition and Efficiency” di Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, kata Budi, sudah melakukan diskusi mengenai hal itu dengan Pertamina. Namun agar ada solusi, ia menginstruksikan agar ada satu tim khusus untuk membahas persoalan tersebut.
“Pertamina, Garuda Indonesia Group, Lion Air Group bicara dari hati ke hati agar ada jalan keluar. Kalau tidak, Presiden Jokowi sudah menyampaikan agar menghadirkan ‘pemain’ lain,” ungkap Budi.
Menghadirkan atau mengeluarkan izin untuk pemasok bahan bakar (fuel supplier) pesawat terbang selain Pertamina, ternyata juga merupakan salah satu usulan dari Indonesia National Air Carriers Association (INACA). Hal ini disampaikan Kepala Riset INACA, Wismono Nitidihardjo untuk, “Equal level of playing field,” katanya.
Wismono pun membeberkan usulan untuk menekan harga avtur di dalam negeri. Pertama, regulasi distribusi avtur yang lebih ketat untuk memastikan harga sesuai dengan biaya distribusinya. Kedua, pembelian avtur tidak dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Ketiga, operator bandara bisa menyediakan pasokan avtur karena rupanya tidak semua bandara menyediakannya.
Keempat, menghadirkan pemasok selain Pertamina, yang juga sudah dilontarkan Presiden Jokowi. Kelima, pemerintah menetapkan dan menyiapkan setidaknya empat bandara strategis sebagai bandara hub yang beroperasi 24 jam.
Komponen biaya avtur memang signifikan terhadap keseluruhan biaya operasional pesawat terbang. Antara 40%-50% dari biaya operasi langsung dalam operasional penerbangan adalah biaya avtur.