Assalamualaikum semua …
Tadi pagi (29/8/2018) saya hadir di acara IBCAS (Indonesia Business & Charter Aviation Summit) di Jakarta. Acara dua tahunan berskala internasional ini untuk yang ketiga kali diadakan di Indonesia, dengan tuan rumah INACA (Indonesia National Air Carriers Association) dan Avcon Group dari Australia.
Kalau bicara peluang, tak dipungkiri Indonesia memiliki banyak sekali peluang untuk mengembangkan penerbangan carter. Melihat gambaran dari seorang presentrator dari Airflite Australia, peluangnya “lebih dari seribu persen” kalau dibandingkan dengan peluang di gabungan tiga negara Eropa (Jerman, Prancis, Inggris). Soalnya, mereka sudah lebih dulu maju, sementara kita baru akan maju. Walaupun di negara Eropa itu banyak miliardernya, sedangkan di Indonesia miliardernya masih sedikit.
Namun peluang kan baru di atas kertas. Sejak beberapa tahun lalu pun pelaku bisnis penerbangan carter tahu peluang-peluang itu, tapi kendala dan hambatannya sangat-sangat banyak. Kalau dari presentasi tadi, pengembangan dari industrinya termasuk sumber daya manusia, juga dukungan dari pemerintah, menjadi hal yang penting untuk dilakukan.
Apa yang masih menjadi hambatannya saat ini? Ketua Penerbangan Carter INACA Denon Prawiraatmadja menjelaskan, peluang besar itu bukan dari para miliarder, tapi orang kaya kelas menengah dan keperluan-keperluan mendesak, juga wisatawan yang saat ini prioritas dikembangkan pemerintah. Peluang ini membutuhkan regulasi yang fleksibel untuk bisnis dan kalau regulator sepakat, hambatan ini nyaris tak ada lagi.
Denon pun mengakui kalau sekarang hubungan dengan Kementerian Perhubungan untuk dukungan regulasi teknis sudah mulai berjalan harmonis. “Ada lagi soal affordability. Saya sudah bicara sama manufaktur, sama financial company, juga bank-bank. Tahukah, berapa juta dollar AS transaksi pembelian pesawat itu yang di-cover oleh financing dari luar? Kenapa sudah satu dekade bank belum juga meresponse secara positif?”
Dukungan finansial untuk pembelian pesawat memang belum diminati bank-bank nasional. Jangankan pesawat besar bernilai puluhan sampai ratusan juta dollar AS, pesawat-pesawat kecil yang harganya jutaan sampai belasan juta dollar AS pun belum. Mungkin pihak bank belum tertarik atau belum paham industri penerbangan atau takut risikonya yang sangat besar. Makanya sampai saat ini belum ada bank yang berani berinvestasi untuk transaksi pesawat itu.
“Padahal rapor kita di financing luar itu biru, lho,” ucap Denon. Namun ia optimis karena saat ini ada beberapa bank yang sudah melirik hal itu. “Bank BRI dan Bank BNI sudah terlihat ada response positif.” Ya, Bank BNI sempat mengungkapkan ketertarikannya pula untuk menyisihkan dananya bagi pembelian pesawat N219 Nurtanio.