Assalamualaikum semua …
Ferry flight N250 Gatotkoco dari Bandung ke Paris sejauh sekitar 13.500 kilometer berjalan lancar. Secara teknis, pesawat tak mengalami masalah serius.
Flight Test Engineer (FTE) Nurcholis mengungkapkan, yang terjadi pada penerbangan itu hanya sebatas menyalanya sejumlah lampu indikasi. Ini menandakan terjadi sesuatu yang tidak beres di tubuh pesawat. “Tapi syukurlah, masalahnya tak serius dan selalu bisa diperbaiki di persinggahan,” ujarnya.
Menurut Nurcholis, wajar N250 mengalami beberapa masalah teknis karena melalui pengujian darat itu pada prinsipnya baru sekitar 10 persen karakternya yang dikenali. Karakter lain akan muncul dan mulai dikenali pada kesempatan lain, termasuk dalam penerbangan ini.
Selama penerbangan di setiap persinggahan, selain dilakukan perbaikan-perbaikan, pesawat juga selalu diberi tambahan bahan bakar. Lama penerbangan dari satu persinggahan ke persinggahan lain rata-rata empat jam.
Kecepatan pesawat umumnya adalah 220 knot/mil karena pada kecepatan ini penggunaan bahan bakarnya paling irit. Pilot yang menerbangkannya pun selalu bergantian; berganti di setiap persinggahan.
Semula, pesawat N250 akan terbang bersamaan dengan CN235MPA. Namun karena terjadi sedikit kerusakan pada radarnya, CN235MPA baru terbang pada 13 Juni 1997. Waktu tempuh pesawat ini juga lebih lama dari N250. Pesawat CN235MPA baru tiba di Le Bourget, dekat Paris, pada 16 Juni siang.
Seperti juga penerbangan N250, perjalanan CN235MPA juga lancar dan mulus. Tim kru pesawat ini adalah Capt Esther Gayatri Saleh, pilot uji perempuan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) serta Supriadi, Anasias Zikir, dan Navrista Mavriando.
Di Paris Air Show 1997, pesawat N250 unjuk terbang. Tulisannya dalam cerita kelima puluh enam (57) ya.