Ini Cerita Pesawat N250 (18)

Assalamualaikum semua …

Tuntutan dan kepentingan militer jadi pencetus fly-by-wire, sewaktu strategi perang beberapa negara maju beralih ke strategi perang udara modern (Angkasa No.6 Tahun VI Maret 1996). Era ketika pesawat tempur sudah sangat kritis. Hanya pesawat tempur berkemampuan manuver tinggi yang bisa menjadi penentu peperangan udara.

Rudal-rudal antiserangan udara yang makin lincah memang kian marak. Pesawat tempur yang kelincahannya sedang-sedang saja bisa menjadi sasaran empuk rudal darat-udara (SAM, surface to air missile) atau rudal udara-udara (AAM, air to air missile).

Menciptakan pesawat tempur berkemampuan manuver tinggi sekaligus laik diterbangkan memang tak mudah. Metode konvensional untuk mempertinggi kemampuan bermanuver adalah dengan:
– pertama, memasang mesin yang lebih bertenaga;
– kedua, menekan harga coefficient of drag (CD);
– ketiga, menggunakan material yang lebih ringan;
– keempat, memperluas bidang-bidang alur aerodinamika (aileron, elevator, rudder).

Cara pertama sederhana, tapi boros bahan bakar dan selalu ada penambahan bobot total. Cara kedua dan keempat dibatasi oleh rumitnya perhitungan matematis dan hasilnya tak pernah menggembirakan. Cara ketiga, kendati hasilnya lumayan, tapi perlu waktu lama.

Ada cara lain, yakni dengan memasang jet thruster, seperti pada pesawat tempur Inggris, Harrier. Namun penggunaan jet thruster ini kurang ekonomis karena butuh bahan bakar 20-25 persen lebih banyak.

Setelah mencari-cari jalan, faktor kestabilan statis lantas dijadikan variabel. Metode ini berangkat dari pertanyaan menggugat, “Jika kestabilan statis menyebabkan lambannya manuver, kenapa tidak dikurangi saja? Kalau perlu malah bikin pesawat terbang yang sama sekali tidak stabil agar mampu untuk meliuk-liuk di angkasa. Toh kestabilan statis bukanlah sesuatu yang keramat dan tabu untuk diotak-atik.”

Pertanyaan dan pernyataan itu disarikan dari tulisan Syamsu Maaris, alumnus Teknik Penerbangan ITB (Angkasa No.6 Tahun Vi Maret 1996). Itulah cara berpikir lateral yang diperkenalkan oleh Dr Edward de Bono, seorang fisiolog.

Pada tahun 1960-an, ide mengendurkan kestabilan statis terdengar konyol dan menegakkan kuduk para pakar aerodinamika. Namun ikhtiar sejumlah pakar aerodinamika akhirnya menemukan dua metode untuk mengurangi kestabilan statis.

Pertama, memasang canard di fuselage depan seperti pada Viggen, atau membuat sayap utama bengkok (sayung) ke depan (forward swept-wing) seperti pada sayap pesawat eksperimental X-29 buatan Grumman. Kedua, memperkecil luas sayap ekor seperti pada Airbus A340. Prinsipnya, kedua metode ini sama-sama memberi efek dapat menggeser aerodinamic center (AC) ke depan, yang mendekati bahkan berimpit dengan center of gravity (CG).

Cetusan konsep pengenduran kestabilan statis (RSS, relaxed static stability) merupakan suatu gebrakan yang revolusioner dan brilian. Namun konsep ini mengundang masalah karena sang pilot harus mampu mengoreksi arah terbang, mengubah-ubah daya dorong mesin, dan lainnya, secara cepat dan terus menerus selama memgangkasa, juga harus gesit.

Siapa pilot yang sanggup? Karena itu, meskipun dianggap brilian, kesimpulan sementara: peluang merealisasikan RSS itu adalah nol!

Orang yang biasa berpikir vertikal, pada titik itu pasti angkat tangan. Namun orang yang biasa berpikir lateral akan mencari alternatif baru. Bagaimana mereka menemukan solusinya sampai mendapat istilah fly-by-wire, yang kemudian diterapkan juga di pesawat N250? Kita lanjut dalam cerita kesembilanbelas (19) ya.