Ini Cerita Pesawat N250 (12)

Assalamualaikum semua …

Pesawar N250 sangat penting dibangun sebagai salah satu tahap dalam alih teknologi. Mau tidak mau Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) harus menjalani tahap demi tahap pembuatan pesawat terbang. Setelah tahap integrasi tekonologi melalui kerja sama dengan pihak lain, dalam hal ini CASA Spanyol yang menghasilkan pesawat CN235, harus diikuti oleh tahap perancangan yang dilakukan sendiri.

“Kita harus mendesain ‘sesuatu’,” ungkap S Paramayuda, Direktur Komersial IPTN pada masa pembangunan N250 kepada Angkasa (Februari 1991).

Dilanjutkannya, “Dalam merancang ‘sesuatu’ itu, kita tak lepas dari sudut perhitungan ekonomi. Kita pun harus memilih kelas yang lepas dari saingan. Hal ini wajar, walaupun sulit dibayangkan ada kelas yang bebas dari kompetitor.”

Berdasarkan data statistik waktu itu, yang paling banyak diminta pasar adalah pesawat terbang 50-100 penumpang. Maka IPTN melakukan studi, yang hasilnya adalah dibutuhkan sekitar 4.000 pesawat sekelas atau berkapasitas itu di dunia.

Paramayuda menggambarkan, kalau yang dibuat adalah pesawat terbang dengan kapasitas di bawah 50 penumpang, IPTN kembali ke CN235 yang kapasitasnya 35 penumpang. Kalau membangun pasawat yang lebih besar, di atas 100 penumpang, terlalu mahal kalau melakukan sendiri.

Jikalaupun ingin membuat pesawat terbang di atas 100 penumpang, IPTN harus bekerja sama dengan pihak lain. Apalagi kala itu, pesawat terbang dengan kapasitas 120-an penumpang sudah dimonopoli Boeing, McDonnel Douglas, dan Fokker. Pada waktu itu, Airbus belum merajai pasar pesawat jet berbadan sedang (narrow body) ini. Namun sekarang, Airbus A320 sudah mendominasi pasar narrow body dunia.

Paramayuda optimis, untuk pesawat di bawah 100 penumpang, Indonesia bisa menguasai pasar. Tenaga kerja pegang peranan untuk menjadikannya pesawat “low cost“. Pasar domestik juga menjadi andalan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan program pariwisata Indonesia, kebutuhan pesawat terbang sebagai feeder diprediksi meningkat pesat.

N250 pun menjadi jiwa IPTN kala itu. Dari sini, BJ Habibie mengungkapkan pemikirannya agar rancangan pesawat terbang itu bisa “dipanjangkan” tanpa menimbulkan masalah. Dalam mendesain N250 harus dicari optimasinya. Dari 50 kursi bisa dibentangkan menjadi 70 kursi atau 75 kursi, misalnya. Maka dalam dua-tiga tahun setelah diproduksi, badan N250 bisa dipanjangkan dan namanya bisa jadi N270.

Dilihat dari kemampuan manusianya, Indonesia mampu membangun pesawat terbang. Untuk membangun N250, IPTN membutuhkan 300-500 insinyur. Tentu sulit dalam waktu singkat mencetak ratusan tenaga ahli teknik itu.

Jadi, waktu itu IPTN pun mendatangkan “tenaga lepas” asing, walaupun pimpinannya tenaga ahli Indonesia. Sebenarnya lumrah saja kalau dalam industri penerbangan ada tenaga asing, tapi dibatasi hanya 20 persennya.

Pada awal pembangunan N250 disebutkan bahwa pembuatannya 60-70 persen dikuasai oleh Indonesia, sisanya vendor items. Namun sebenarnya dalam pembuatan pesawat terbang itu hanya 20-30 persen komponen buatan dalam negeri. Desainnyalah yang dirancang anak-anak bangsa.

“Desain yang buat kita, tapi komponen utama pasti outsource. Kalau ada orang yang berpikiran bahwa membuat pesawat terbang itu semua dibuat di Indonesia atau dalam negeri, itu keliru. Di mana-mana juga begitu, bahkan 70 persennya dibuat di luar,” ungkap Jusman Sjafii Djamal, Koordinator Kegiatan Perancangan Engineering N250.

Apa pula kata Jusman tentang nasionalistik dalam pembuatan pesawat terbang? Nanti disambung pada cerita ketigabelas (13) ya.