Ada dua pesawat yang dirancang segelintir orang-orang IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) atau PT Dirgantara Indonesia (PTDI) pasca terhentinya aktivitas yang berkaitan dengan pesawat N250. Satu dirancang oleh mereka yang masih berkiprah di PTDI, yakni N219, satu lagi oleh mantan karyawan PTDI, yakni R80.
Awalnya saya mengenal R80 –kepanjangannya adalah Regio 80– lewat wawancara dengan Ilham Habibie tahun 2013. Penjelasan lebih lanjut diperoleh dari Agung Nugroho, yang menjadi salah seorang penggagasnya. Tentu penggagas utamanya adalah BJ Habibie. Sampai sekarang, apa pun yang berkaitan dengan R80 dilaporkan kepada Presiden RI ketiga ini.
Ternyata semangat N250 tidak hilang. Walaupun sampai saat ini masih tanda tanya karena tak terdengar lagi informasinya. Bisa dipahami pula karena untuk mewujudkannya membutuhkan proses yang sangat panjang.
Kemarin (29/8/2018) saya bertemu dengan mereka dari PT Regio Aviasi Industri (RAI), perusahaan yang akan membangun R80, pada acara IBCAS (International Business & Charter Association Summit) di Jakarta. Kata mereka, proses R80 masih berjalan. Artinya, pembangunan pesawat propeller berkapasitas 80 kursi ini masih ingin diwujudkan.
Persoalannya tentu saja pendanaannya. Untuk membangun pesawat sekelas N219 yang berkapasitas 19 kursi saja, investasi Rp500miliar itu masih kurang. Apalagi sekelas R80, dana awalnya saja barangkali harus ada Rp1triliun. Pernah saya dengar, kalau kita mau menghidupkan lagi N250, harus ada dana sedikitnya sekitar Rp4triliun.
Namun R80 adalah proyek optimis. Faktanya, sampai sekarang masih terus dilakukan kajian-kajian dan penyempurnaan desain. Begitu kata mereka yang ketemu di IBCAS itu. Mereka juga ingin mengetahui pendapat para pilot. Salah satu item yang ditanyakan, “Apakah pilot lebih nyaman menggunakan kemudi sidestick atau yoke?”
Jawabannya ternyata bisa mengundang canda. Kata sang pilot, ia suka yoke karena lebih familiar. Namun ada juga yang suka sidestick karena tubuh sang pilot gemuk.