Pengembangan kawasan dengan konsep Transit Oriented Development (TOD), khususnya di wilayah Bodetabek, umumnya belum sepenuhnya menerapkan pola transportasi yang terpadu atau terintegrasi. Khususnya berkenaan dengan aksesibilitas ke simpul moda dan pusat kegiatan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Direktur Prasarana Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan, Jumardi dalam siaran pers, Senin (27/6/2022). “Konsep TOD belum sepenuhnya dipahami secara utuh, sehingga implementasinya juga belum menyeluruh,” ujarnya.
Sering terjadi, kata Jumardi, para pengembang kawasan merasa sudah menerapkan TOD apabila kawasan yang dikembangkan sudah memiliki fasilitas terhubung angkutan umum massal berbasis rel, seperti KRL, untuk menfasilitasi mobilitas lintas wilayah. Sementara itu, fasilitas transportasi massal yang mengakomodasi pergerakan di dalam kawasan TOD tersebut justru belum tersedia.
Bagaimana sebenarnya konsep TOD, Jumardi mengatakan, ada dua pendekatan dalam penataan kawasan berkonsep TOD.
Pertama, bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang relatif tidak terlalu luas untuk banyak fungsi. Jadi, dalam satu kawasan semua kegiatan yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari, pergerakannya dapat dilakukan sefisien mungkin, cukup menggunakan Non Motorized Transport (NMT). Kebutuhan sehari-hari manusia yang tinggal di kawasan tersebut setidaknya bisa dipenuhi juga di kawasan tersebut. Misalnya, mau belanja cukup dengan berjalan kaki atau bersepeda karena jaraknya dekat.
Kedua, pendekatan transportasi massal. Untuk kebutuhan pergerakan yang lebih jauh, baik yang masih dalam kawasan TOD ataupun ke luar wilayah TOD. Tujuannya adalah bagaimana aksesibilitas masyarakat di sekitar simpul transportasi semakin baik yang ditandai dengan warga bisa bergerak dengan mudah dan tidak ada hambatan. Sistem transportasi massal yang ada juga harus memiliki integrasi antarmoda yang memadai dan mampu menghubungkan pusat kegiatan dengan mudah.
Kedua pendekatan itu kemudian digabung, sehingga lahirlah satu konsep penataan TOD yang merupakan wujud interaksi sektor transportasi dengan tata guna lahan yang mengedepankan aksesibilitas atau konektivitas yang seamless, penggunaan angkutan umum massal, dan NMT, serta fungsi pemanfaatan ruang campuran. Konsep ini, menurut Jumardi, tidak hanya menciptakan transportasi yang berkelanjutan, tapi juga kawasan berkelanjutan dengan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang signifikan.
“Kecenderungannya, pengembangan kawasan TOD belum banyak menyediakan transportasi massal untuk pergerakan di dalam kawasan tersebut, sehingga yang terjadi mobilitas masyarakat di dalam kawasan tersebut tetap mengandalkan kendaraan pribadi,” kata Jumardi. Kondisi tersebut berpotensi menyebabkan kemacetan seiring dengan pertambahan penghuninya dari waktu ke waktu dan menjadi kontradiktif terhadap tujuan pengembangan kawasan berkonsep TOD.
Agar implementasi TOD dapat berjalan dengan menyeluruh dan optimal, Jumardi menggarisbawahi pentingnya peran Pemerintah Daerah (Pemda) . “Pemda, sesuai ketentuan peraturan yang ada, memiliki kewenangan yang kuat agar TOD di wilayahnya dapat berjalan dengan seharusnya. Pemda harus mampu mengambil peran kongkret dengan tidak menyerahkan semuanya kepada pengembang.”
Misalnya, pada kasus di mana fasilitas transportasi massal untuk mobilitas di dalam kawasan TOD belum tersedia, maka Pemda harus terlibat di dalamnya untuk menyelesaikan masalah tersebut. “Pemda bisa saja membangun sistem angkutan umum massal berbasis Bus Rapid Transit (BRT) dengan mekanisme Buy The Service (BTS),” kata Jumardi.
Menurut Jumardi, Pemda tidak bisa lepas tangan karena sesuai dengan ketentuan perundangan yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan angkutan umum perkotaan adalah Pemda setempat.
Pengembangan kawasan TOD yang berada di sekitar wilayah Tangerang, contohnya. Terdapat pengembangan kawasan berkonsep TOD dengan cakupan wilayah yang relatif berdekatan, baik di Kota Tengerang, Tangerang Selatan, maupun Kabupaten Tangerang, yang bahkan bersinggungan dengan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, seperti di TOD Tenjo yang berpusat pada stasiun KRL Tenjo.
Fokus pendekatan transportasi pada implementasi TOD di wilayah tersebut masih terbatas pada bagaimana mendekatkan permukiman ke stasiun kereta. Sementara kebutuhan transportasi massal untuk menjangkau kawasan sekitar terlalu jauh apabila menggunakan NMT belum tersedia.
“Sebenarnya bisa saja Pemda di sekitar wilayah tersebut saling bekerja sama dan berkolaborasi untuk menyelenggarakan layanan BRT yang teintegrasi antarwilayah. Jadi tidak perlu setiap Pemda membangun sendiri-sendiri. Pemerintah Pusat, dalam hal ini BPTJ, siap untuk menfasilitasi sesuai dengan kewenangan dan tugas serta fungsi yang dimiliki,” ujar Jumardi.
Jumardi menilai, hal tersebut perlu mendapatkan perhatian agar nantinya tidak muncul permasalahah kemacetan yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup masyarakat. Data menunjukkan, pada tahun 2019, Kota Tangerang Selatan menjadi kota paling tercemar kualitas udaranya se-Asia Tenggara, dengan rata rata indeks kualitas udara sebesar 81.3. Pada tahun 2020 pun peringkat pertama kota paling tercemar kualitas udaranya se-Asia Tenggara masih diduduki oleh Kota Tangerang Selatan dengan indeks kualitas udara sebesar 74.9.
“Memang belum tentu transportasi menjadi kontributor utama buruknya kualitas udara di wilayah Tangerang, mengingat besar kemungkinan sektor industri juga berperan besar. Namun demikian jangan sampai suatu saat nanti permasalahan transportasi seperti kemacetan membuat kondisi menjadi semakin buruk karena dampak yang dihasilkan akan lebih luas pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan,” tutup Jumardi.