Gapasdap Kecewa Tarif Penyeberangan Boleh Naik Bertahap Tiga Kali dalam Tiga Tahun

Usul kenaikan tarif dari Gapasdap (Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan) disetujui Menteri Perhubungan. Namun mereka kecewa karena kenaikan yang disetujui 28 persen dari usulan 38 persen dan diterapkan dalam tiga tahap selama tiga tahun.

“Jangan lihat dari besar persentasenya, tapi harganya dan kontinyuitas pelayanannya. Kami khawatir tidak terjaminnya keselamatan pelayaran penyeberangan ini,” ujar Khoiri Soetomo, Ketua Umum Gapasdap ketika bertemu wartawan di Kementerian Perhubungan Jakarta, Jumat (18/10/2019).

Khoiri menyebut, tarif angkutan penyeberangan luar biasa rendah, seraya mencontohkan tarif rute Ketapang-Gilimanuk per penumpang dewasa yang Rp6.500. “Kami selaku operator pelayaran hanya menerima Rp2.800. Sisanya untuk operaror pelabuhan yakni ASDP Rp2.900 serta asuransi jasa raharja, retribusi untuk pemda, dan lainnya.

Senada dengan itu, Dewan Penasihat Gapasdap, Bambang Haryo mengatakan, besaran tarif itu harusnya sekitar 38 persen. “Kalau diterapkan bertahap 20 persen minimal itu hanya berdampak terhadap perbedaan tarif lama dan baru hanya Rp150.000 dari tarif truk rute Merak-Bakauhuni,” katanya.

Bambang menjelaskan, satu truk bisa mengangkut 30 ton beras, misalnya. Katakanlah harga beras per kilogram Rp10.000 dikalikan 30.000 kg, harga beras yang diangkut truk itu Rp300juta. Kenaikan yang Rp150.000 itu dibandingkan dengan Rp300juta hanya 0,005 persennya. “Inflasi kenaikan tarif ferry itu hanya berdampak Rp5 dari harga beras per kg; apa artinya?”

Bambang menambahkan, “Jikalau tarif dinaikkan bertahap dan pemerintah mencicil kekurangannya, pemerintah wajib mengeluarkan subsidi PSO (public service obligation). Kalau tidak, berarti pemerintah yang bertanggung jawab pada iklim usaha ini dalam hal jaminan keselamatan dan kenyamanannya. Pemerintah bertanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi pada kapal.”

Gapasdap mengajukan kenaikan tarif karena, kata Khoiri, kondisi operator ferry sangat parah. Bambang juga mengakui, perusahaan penyeberangan itu ada yang sudah tidak bisa bayar gaji dengan baik; ada yang terlambat tiga atau lima bulan. Bahkan ada beberapa perusahaan yang dilego.

Bukan hanya tarif rendah yang membuat operator ferry itu kritis. Menurut Khoiri, aturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang baru menyesakkan. “Formulanya diturunkan. Pemakaian BBM di kapal itu 130 gram per horse power (hp) per jam. Sekarang atas nama kuota yang semakin mendekati habis, dikecilkan jadi 100 gram per hp per jam. Jatah kami juga semakin sedikit.”

Dari 14,6 juta kilo liter solar subsidi yang disediakan secara nasional, angkutan ferry hanya menggunakan 1,68 persennya. “Jatah kami semakin dikecilkan, maka kami sampaikan keberatan. Kalau BPH Migas tidak punya kewenangan, kami akan tulis langsung kepada Presiden Jokowi, lewat Menteri ESDM, Menkeu, Menko Perekonomkan, Menko Maritim, Menhub, dan Bappenas, supaya BBM bersubsidi itu tepat sasaran,” tutur Khoiri.

Di sisi lain, hampir di setiap pelabuhan penyeberangan, dermaga yang ada tidak cukup. Contoh di Merak, dengan 72 kapal dan akan menjadi 80 kapal yang operasi dari 28 operator ferry, hanya ada tujuh dermaga. Itu pun tidak semuanya bisa digunakan ferry yang beroperasi reguler. Satu dermaga dikhususkan untuk ferry eksekutif, yang hanya dua kapal bersandar. Sementara dari enam demaga, yang masing-masing bisa sandar lima kapal, hanya lima yang siap.

“Setidaknya harus ada 10 dermaga. Sekarang kami harus bergantian untuk sandar dan ini memakan waktu tempuh kapal menjadi sangat lama, bisa sampai lima-enam jam,” ucap Khoiri.

Khoiri pun mengusulkan agar pembangunan dermaga bisa menjadi prioritas. “Bangun dermaga itu tak semahal membangun bandara. Dermaga, juga kapal-kapal penyeberangan, merupakan infrastruktur yang sangat dibutuhkan masyarakat. Pembangunan infrastruktur yang sekarang jadi prioritas, sampai saat ini belum menyentuh infrastruktur untuk angkutan penyeberangan.”

Foto: Reni