Gandeng PBB, ITL Trisakti Lakukan Penilaian Kebijakan Harga Bahan Bakar

Institut Transport & Logistik (ITL) Trisakti bekerja sama dengan UN Environment melalui lembaga Initiative for Climate Action Transparency (ICAT) dalam melakukan penilaian terhadap dampak emisi gas rumah kaca dari penerapan kebijakan harga bahan bakar. Selain itu, penilaian juga dilakukan terhadap insentif bagi kendaraan yang ramah lingkungan. Penilaian ini berlangsung selama Juli hingga September 2019.

Ketua Tim penilaian tersebut yang juga dosen senior ITL Trisakti, Elly Adriani Sinaga mengatakan bahwa kampus ini diberi mandat oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk melakukan penelitian bersama dengan ICAT.

“Ada beberapa hal yang kita lakukan. Kita joint research atau assessment kebijakan transportasi yang impact-nya terhadap emisi gas (rumah kaca),” ujarnya saat acara FGD di ITL Trisaksi, Jakarta Timur, Rabu (18/9/2019).

Dia menjelaskan, ada 3 hal atau kebijakan utama yang tim ini nilai. Pertama mengenai kebijakan harga bahan bakar RON 88 dan solar. Menurutnya, bahan bakar fosil memberikan emisi yang lebih besar, padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Berikutnya mereka juga melakukan penilaian terhadap kebijakan mengenai low cost green car (LCGC). Terakhir, penilaian terhadap kebijakan kendaraan listrik yang belum lama ini dikeluarkan pemerintah.

ICAT sebelumnya telah mengembangkan pedoman perhitungan dampak gas rumah kaca dari kebijakan harga, dan asesment ini diadakan guna meninjau ulang pendekatan dalam pedoman tersebut.

“Indonesia dapat mengambil banyak manfaat dari asesment ini, terutama dalam menilai dampak dari kebijakan terkait harga bahan bakar dan insentif untuk kendaraan ramah lingkungan terhadap emisi gas rumah kaca.”

Dalam konteks komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, pada November 2016 Indonesia secara resmi mengeluarkan Nationally Determined Contribution (NDC). Dokumen tersebut memuat target dan aktivitas yang akan dilakukan untuk mereduksi emisi gas rumah kaca sebesar 29% (tanpa bantuan pihak asing) dan sampai dengan 41% dengan bantuan pihak internasional.

Dijelaskannya, sektor transportasi merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia. Sektor ini menggunakan 30.2% dari total konsumsi energi pada tahun 2016.

“Guna mencapai target penurunan emisi sebagaimana tertuang dalam NDC, maka pemerintah perlu mengambil langkah langkah serius yang akan berdampak signifikan terhadap emisi GRK,” tegasnya.

Saat ini tim dari ITL Trisakti dan ICAT masih melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan terkait dan juga melakukan konsolidasi atas perhitungan-perhitungan tersebut.

“Diharapkan hasil final dari asesmen ini dapat dirilis pada bulan Oktober 2019. Kerja sama ini didukung oleh ICAT, INFRAS (Switzerland), dan VERRA (United States) dan telah mendapatkan peryataan tanpa keberatan dari Kementerian Perhubungan,” tandasnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi yang membacakan pidato Menteri Perhubungan di FGD tersebut menyebutkan bahwa pemerintah melalui Kementerian Perhubungan berkomitmen untuk mewujudkan sistem transportasi yang aman, nyaman dan selamat.

Dia mengatakan bahwa saat ini Kemenhub tengah mendorong hadirnya transportasi yang ramah lingkungan.

“Yang akan kita dorong untuk masyarakat ada dua. Pertama adalah untuk bus listrik, berikutnya sepeda motor listrik.”

Kalau untuk bus listrik, lanjutnya, kita ada anggaran subsidi yang bisa kita dorong penggunaannya. Tetapi terkait percepatan atau akselerasi bagaimana masyarakat beralih dan meninggalkan sepeda motor yang berbahan bakar fosil.

Dia berharap hal ini dapat diterapkan terlebih dahulu dari lingkungan perguruan tinggi. “Mungkin ada kewajiban atau didorong penggunaan motor listrik bagi dosen-dosen.”

“Jadi sekarang yang sedang dilakukan oleh kita (Kemenhub) untuk mendorong transportasi yang ramah lingkungan bukan untuk kepentingan kita saja, tapi untuk kepentingan anak-cucu kita,” tandasnya.