Fakta-fakta Haru Biru Satu Tahun Lion Air JT610

pesawat Boeing 737 MAX 8 registrasi PK-LQP

29 Oktober 2018, dunia dikagetkan dengan kabar kecelakaan fatal yang dialami pesawat Lion Air. Pagi itu, pesawat dengan jenis Boeing 737 MAX 8 tersebut sedang melayani penerbangan JT610 dengan rute Jakarta (CGK) menuju Pangkal Pinang (PGK).

Sungguh nahas, belum lama pesawat dengan nomor registrasi PK-LQP itu lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju Bandara Depati Amir, sontak beredar kabar bahwa pesawat tersebut mengalami hilang kontak.

Jakarta Air Traffic Service Center (JATCS) mengabarkan Senin (29/10/2018) pagi pada pukul 06.50 WIB bahwa pada pukul 06.33 WIB pesawat itu hilang kontak setelah lepas landas pada pukul 06.20 WIB. Posisi terakhirnya berada di koordinat 05º 49.727 S – 107º 07.460 E, yakni di sekitar perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat.

Mengenang satu tahun peristiwa ini, berikut kami rangkum sejumlah fakta penerbangan tersebut:

Semua penumpang dan kru pesawat meninggal
Dalam penerbangan JT610 pagi itu, pesawat membawa 178 penumpang dewasa (124 laki-laki, 54 perempuan), satu anak-anak dan dua bayi. Sementara awak pesawat terdiri dari dua Pilot dan lima awak kabin. Semuanya dinyatakan tidak ada yang selamat dalam kecelakaan fatal tersebut.

Saksi jatuhnya pesawat
Selain dikabarkan JATSC bahwa pesawat mengalami hilang kontak di koordinat 05º 49.727 S – 107º 07.460 E, informasi juga dikuatkan oleh awak VTS Tanjung Priok atas nama Bapak Suyadi, tug boat AS JAYA II (rute: Kalimantan Selatan – Marunda) bahwa dia melihat pesawat Lion Air diduga jatuh di sekitar Tanjung Karawang. Basarnas pun langsung mengerahkan Rescuer Kansar Jakarta dan RIB 03 Kansar Jakarta bergerak ke lokasi koordinat kejadian untuk melakukan operasi SAR.

Proses identifikasi jenazah korban yang lama
Proses identifikasi korban di RS POLRI oleh tim DVI (Disaster Victim Identification) Polri berjalan sangat lama. Hal ini karena yang diidentifikasi kebanyakan adalah potongan tubuh, bukan jasad utuh.

Direktur Teknik dan Teknisi Lion Air Dibebastugaskan
Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi menyatakan telah meminta pihak Lion Air untuk membebastugaskan Direktur Teknik, Muhammad Asif serta teknisi penerbangan JT610. Dia mengklaim, pembebastugasan merupakan bentuk sanksi terhadap maskapai atas peristiwa yang menimbulkan ratusan korban jiwa dan diberlakukan pada 31 Oktober 2018.

Pesawat PK-LQP belum genap tiga bulan berdinas
Pramintohadi Soekarno yang pada saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Udara menyebutkan bahwa pesawat tersebut mempunyai sertifikat registrasi yang dikeluarkan pada 15 Agustus 2018 dan kadaluarsa pada 14 Agustus 2021. Sementara sertifikat kelaikudaraan dikeluarkan pada 15 Agustus 2018 dan kadaluarsa pada 14 Agustus 2019.

Grup Lion Air beli 222 pesawat keluarga 737 MAX
Lion Air sudah menghabiskan puluhan miliar dolar AS untuk pemesanan 222 unit pesawat Boeing dari keluarga 737 MAX. 11 unit tipe 737 MAX 8 telah diterima dan salah satunya yang mengalami kecelakaan tersebut. Sementara Thai Lion Air menerima 1 pesawat jenis 737 MAX 9.

Pesawat PK-LQP sempat minta RTB
Pesawat ini lepas landas dari Cengkareng pada pukul 06.10 WIB dan sesuai jadwal akan tiba di Pangkal Pinang pada Pukul 07.10 WIB. Pesawat sempat meminta kembali ke bandara asal (return to base/RTB) kepada JATCS sebelum akhirnya menghilang dari pantauan radar.

Butuh 3 bulan temukan dua kotak hitam pesawat
Pencarian dua kotak hitam pesawat membutuhkan waktu yang lama, karena perairan yang hitam dan lumpur yang tebal. Pada 1 November 2018, tim penyelam TNI AL berhasil menemukan kotak hitam jenis Flight Data Recorder (FDR). Sementara jenis Cockpit Voice Recorder (CVR) baru ditemukan 14 Januari 2019.

Lion Air nyatakan siap menerima sanksi
Pada 30 Oktober 2018, pendiri Grup Lion Air, Rusdi Kirana mengaku pihaknya bersedia diaudit dan siap menerima sanksi bila terbukti bersalah dalam kecelakaan tersebut. Berselang sehari, Menhub mengatakan bahwa sanksi Lion Air sebagai perusahaan menunggu hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Kompensasi kecelakaan Rp1,254miliar
Sesuai Pasal 3 huruf a Permenhub 77/2011, penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara diberikan ganti rugi sebesar Rp1,25miliar. Namun terkait kecelakaan PK-LQP, keluarga korban menerima ganti rugi dalam bentuk buku tabungan yang berisi saldo Rp1,3miliar dengan rincian Rp1,25miliar sebagai ganti rugi, Rp4juta untuk ganti rugi bagasi dan santunan Rp46juta.

Kejadian serupa
Hanya berselang lima bulan, pada 10 Maret 2019 pesawat 737 MAX 8 milik maskapai Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan ET302 mengalami kecelakaan serupa di Addis Ababa, Ethiopia. Kecelakaan fatal ini juga menewaskan seluruh awak pesawat dan penumpangnya yang berjumlah 157 orang.

Peran fitur MCAS dalam kecelakaan
Pada 4 April 2019, Boeing mengakuui bahwa fitur Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) atau sistem anti-stall pesawat berperan dalam tragedi Lion Air dan Ethiopian Airlines. Kemudian pada 5 Mei 2019 pabrikan juga mengakui bahwa teknisinya mengetahui adanya masalah pada sistem peringatan pilot pada pesawat jenis 737 MAX sekitar setahun sebelum terjadinya kecelakaan fatal Lion Air JT 610. Akan tetapi tidak ada tindakan yang diambil pihak pabrikan terkait masalah tersebut.

Larangan Terbang 737 MAX
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara menerbitkan larangan terbang jenis pesawat 737 MAX 8 di Indonesia sejak 12 Maret 2019. Sehari berikutnya Presiden AS Donald Trump juga menerbitkan larangan terbang bagi keluarga pesawat 737 MAX. Langkah Trump ini menyusul beberapa negara lainnya seperti Inggris, Uni Eropa, India, Cina, Australia dan Indonesia yang telah lebih dulu mengeluarkan larangan serupa terhadap pesawat jenis tersebut.

Data CVR JT610 bocor
Pekan ketiga Maret 2019 berkembang pemberitaan yang menguak isi rekaman percakapan awak kokpit pesawat 737 MAX 8 PK-LQP penerbangan JT610 dan penerbangan sebelumnya, JT43. Pada 21 Maret 2019, Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono menyampaikan bahwa data CVR merekam sejak persiapan penerbangan JT610 hingga akhir penerbangan. Sementara rekaman penerbangan JT43 sudah terhapus. Namun dia membenarkan bahwa ada pilot lain di kokpit pada penerbangan JT43 rute Denpasar-Jakarta.

Disebut ada konspirasi
Firma hukum asal Amerika Serikat (AS), Herrmann Law Group bersama Danto dan Tomi & Rekan menyebutkan bahwa kemungkinan ada konspirasi terkait penerimaan uang kompensasi kepada ahli waris atas kecelakaan fatal pesawat Lion Air penerbangan JT-610. Pada 4 April 2019), firma hukum tersebut melayangkan somasi kepada pihak Lion Air, Tugu Insurance, asuransi Global Aerospace dan firma hukum Kennedys Legal Solution.

Atas nama keluarga dari 24 korban, kedua firma hukum itu meminta pembayaran uang kompensasi kecelakaan sebesar Rp1,254miliar kepada setiap keluarga seperti yang diamanatkan Pasal 3 huruf a Permenhub 77/2011. Pihak Tugu Insurance sebagai perusahaan asuransi yang ditunjuk Lion Air disebut meminta keluarga korban menandatangani Release & Discharge (R&D) untuk mendapatkan uang kompensasi mereka.

Bos Lion Air geram terhadap Boeing
Pada 16 April 2019, pendiri Grup Lion Air, Rusdi Kirana, mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Boeing Company yang telah memandang rendah maskapainya dan menganggap dirinya sebagai ‘celengan’ mereka.

NTSB terbitkan terbitkan laporan hasil investigasi
Pada 19 September 2019 KNKT AS (National Transportation Safety Board/ NTSB) menerbitkan Safety Recommendation Report. Dalam laporan itu disebutkan bahwa saat terjadinya kecelakaan JT610, Digital Flight Data Recorder (DFDR) pesawat merekam adanya deviasi data sensor Angle of Attack (AoA). AoA sensor kiri lebih besar 20 derjat dari yang kanan. Saat itu juga terjadi stick shaker.

Penyebab Kecelakaan dalam Laporan akhir KNKT
Pada 25 Oktober 2019, KNKT secara resmi merilis laporan akhir kecelakaan fatal pesawat 737 MAX 8 registrasi PK-LQP milik Lion Air. KNKT menyimpulkan 9 faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan itu. KNKT mengeluarkan rekomendasi kepada Lion Air, Batam Aero Technic, Boeing, Ditjen Perhubungan Udara, FAA, Collins Aerospace dan AirNav Indonesia, di luar tindakan perbaikan yang telah mereka lakukan.

AoA sensor kiri PK-LQP rusak sebelum penerbangan JT43
Laporan akhir KNKT menyebutkan, AoA sensor kiri pesawat PK-LQP mengalami kerusakan untuk pertama kalinya pada 26 Oktober 2018 dalam penerbangan dari Tianjin, China ke Manado, Indonesia. Setelah beberapa kali perbaikan pada kerusakan yang berulang, instrumen tersebut telah diganti di Bali pada 28 Oktober 2018 sebelum penerbangan JT43. Ternyata AoA sensor kiri yang dipasang mengalami deviasi sebesar 21 derajat yang tidak terdeteksi pada saat diuji setelah dipasang. Masalah deviasi itu berlanjut sejak awal penerbangan JT610 pada 29 Oktober 2018.

MCAS berhasil dimatikan
Dalam penerbangan JT43 pesawat mengalami gangguan dan terjadi stick shaker. Pilot langsung bereaksi dan yakin bahwa masalah tersebut pasti berasal dari AoA sensor kiri. KNKT menyebutkan bahwa orang ketiga yang duduk di kokpit sempat mengingatkan Kapten Pilot bahwa saat Kopilot sedang menerbangkan pesawat, lajunya mulai bergerak turun. Kapten pilot hanya memantau bagaimana kopilot menerbangkan dan akhirnya melihat Trim-nya bergerak sendiri. Pilot menganggap hal itu sebagai Runaway Stabilizer dan mereka merubah pengaturan Stab Trim ke posisi cut out, yang akhirnya berhasil menghentikan MCAS.

Kru kokpit JT610 tidak komunikatif
KNKT menyimpulkan bahwa tidak terjadi komunikasi dan koordinasi kru pesawat pada penerbangan JT610, karena mereka sibuk dengan tugasnya masing-masing. Sehingga tidak terjadi kerja sama yang baik antara keduanya saat dalam situasi sulit seperti pada penerbangan JT43.

Tanggapan Boeing soal laporan akhir KNKT
Pada hari yang sama, pihak Boeing langsung memberikan tanggapan soal laporan akhir tersebut. CEO Boeing,Dennis A. Muilenburg menyebutkan bahwa pihaknya saat ini masih sedang membahas rekomendasi yang diberikan KNKT dalam laporan itu. Pabrikan juga mengambil tindakan untuk meningkatkan keselamatan 737 MAX demi mencegah kondisi kontrol penerbangan yang berkontribusi dalam kecekalaaan tersebut agar tidak terulang lagi.

Menhub minta semua pihak segera lakukan evaluasi
27 Oktober 2019, Menhub meminta semua pihak untuk menghormati laporan akhir investigasi kecelakaan pesawat 737 MAX 8 PK-LQP yang telah disampaikan KNKT. Budi juga meminta semua pihak yang mendapat rekomendasi dari KNKT untuk segera melakukan evaluasi. Pada poin sebelumnya disebutkan bahwa Menhub akan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang terbukti melakukan kesalahan.

Laporan akhir KNKT tidak bisa dipakai di pengadilan
Sesuai dengan Annex 13 ICAO, investigasi bukan untuk menyalahkan. Selain itu, Menurut Menhub, sesuai PP No. 62 Tahun 2013 Tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi, investigasi yang dilakukan KNKT diselenggarakan dengan prinsip tidak untuk mencari kesalahan, tidak untuk memberikan sanksi atau hukuman dan tidak untuk mencari siapa yang bertanggungjawab menanggung kerugian.