Empat Hal Perlu Perhatian untuk Bangkitkan Penerbangan Indonesia

Assalamualaikum semua …

Melihat dinamika perhatian pemerintah dan masyarakat saat ini, sorotan pada sektor penerbangan Indonesia terus berkutat pada tarif tiket yang mahal. Banyak orang bicara bahwa dampak dari harga tiket pesawat terbang yang lebih tinggi daripada harga setahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya menyebabkan banyak sektor terpuruk. Sektor pariwisata anjlok, UMKM yang menjual suvenir terancam gulung tikar, tingkat hunian hotel berkurang, dan banyak lagi.

Siapa yang diuntungkan? Seorang pengamat menjawab, “Maskapai dong!” Apa iya? Maskapai tutup mulut. Kemudian pemerintah melakukan berbagai upaya agar harganya turun. Terkait ini, jawaban maskapai paling juga yang bikin aman dan nyaman sang pendengar, “Kami ikut kebijakan pemerintah.” Walaupun asosiasi maskapai penerbangan nasional INACA sempat bilang, tak setuju tarif batas atas diturunkan.

Apa masalah penerbangan hanya soal tarif? Tentu sangat bukan dan tidak. Banyak yang harus dibenahi, banyak pula yang menjadi “pekerjaan rumah” yang belum dikerjakan. Sebut yang pertama: soal pilot “menganggur”. Ada upaya yang dilakukan berbagai pihak, tapi belum menjadi solusi yang baik.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan pula, tapi belum bisa diimplementasikan adalah menjadikan para pilot ab initio itu sebagai tenaga profesional yang siap diekspor. Cina, Vietnam, Kamboja, membutuhkan banyak pilot. Namun sayangnya, kompetensi pilot pemula kita belum memiliki kualitas ekspor. Salah satu syaratnya adalah pendidikan mereka harus setara sarjana S1 atau memiliki pengetahuan lebih dari sekadar skill pilot.

Katakanlah, isu besarnya adalah harus ada upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia profesional di bidang penerbangan. Bukan hanya pilot, tapi juga petugas ATC, engineer atau teknisi pesawat terbang, petugas berbagai lini di bandara, bahkan para manajer bidang penerbangan, ahli hukum udara, asuransi, dan lainnya.

Perhatian kedua adalah pada operasional pesawat tanpa awak atau unmanned vehicle atau drone. Regulasi drone sudah ada? Ada, tapi belum mencakup banyak hal. Hal-hal ini berkaitan dengan kondisi di lapangan dan era kekinian. Apa yang bisa kita lakukan untuk drone? Soal kepemilikan, pengoperasian, pengujian, sertifikasi, level pendidikan, juga pemanduan lalu lintas udaranya, masih harus dicermati dengan kehati-hatian tapi harus segera.

Tadi (14/5/2019) ada pertemuan Indonesia-US Aviation Working Group di Jakarta. Acara rutin tiap tahun itu membahas isu yang hangat setiap tahun. Kali ini temanya, “Strengthening Aviation by Incorporating Innovative Technology in Indonesia”. Kabarnya, FAA membahas aoal drone dan membagikan ilmu pengetahuannya pada Indonesia.

Masih tersembunyi tapi mulai menguak adalah tentang kurangnya pilot yang bisa beroperasi aman dan selamat di Papua. Perhatian ketiga ini selayaknya sudah menjadi isu nasional karena membutuhkan strategi baik dan waktu yang panjang.

Tidak mudah menerbangkan pesawat udara di mountainous area. Pendidikan dan pelatihannya membutuhkan waktu paling tidak dua tahun. Kita di Indonesia, apa punya area berbukit-bukit sebagai area latih dengan instruktur piawai? Pilot-pilot muda memang diharapkan mau dan bisa menjadi safe pilot di Papua.

Perhatian keempat adalah pada optimalisasi waterbase. Banyak bandara di setiap kabupaten/kota dibangun dengan biaya mahal, tapi ternyata sepi penerbangan. Padahal Indonesia yang terdiri dari sangat banyak pulau membutuhkan waterbase untuk mendaratkan pesawat terbang. Lebih efektif, terutama untuk mendukung ekspor komoditas hasil laut. Katanya, membangun waterbase itu jauh lebih murah dibandingkan membangun bandara di daratan.

Empat hal yang menjadi perhatian dalam sektor penerbangan itu didiskusikan dalam kumpul-kumpul Komunitas Aviasi Indonesia bersama Dirjen Perhubungan Udara Polana B Pramesti di Jakarta, 30 April 2019. “Industri penerbangan bukan hanya maskapai, tapi asosiasi dan lainnya. Semuanya harus sinergi. Kita ingin menjadikan aviation goes international,” ujar Polana.