Ada dua kecelakaan pesawat terbang yang mengerahkan kegiatan pencarian dan penyelematan (SAR, search and rescue) besar dengan dana yang sangat besar pula dalam lima tahun ini. Setelah kecelakaan QZ8501 (28/12/2014) AirAsia Indonesia, kemudian JT 610 (29/10/2018) Lion Air.
Dana SAR kecelakaan QZ8501 (28/12/2014) mencapai Rp1triliun dari APBN, yang pada 20 April 2015 disebutkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Sementara kecelakaan JT 610 (29/10/2018) tidak ada pihak berwewenang yang menyebutkannya. Hanya Basarnas menyebut, dana berasal dari pihaknya dan APBN.
“Sampai saat ini, maskapai penerbangan, seperti Lion Air dan AirAsia Indonesia, masih dalam posisi ‘berutang pada APBN’ untuk kasus-kasus SAR mereka. Padahal mereka atau pihak asuransi mereka punya kesanggupan dan kemampuan untuk melunasi utang biaya SAR pada negara. Kok dibiarkan?” ujar Sofian Pulungan, pengamat asuransi penerbangan di Jakarta, minggu lalu (8/10/2019).
Mempertanyakan hal tersebut dengan meminta konfirmasi dari Lion Air dan AirAsia Indonesia, tidak diperoleh jawaban. “Maaf kami belum bisa menyampaikan data tersebut,” kata Danang Mandala Prihantoro, Corporate Communication Strategic of Lion Air Group. Sementara Head of Communications AirAsia Indonesia, Baskoro Adiwiyono menjawab, “Terkait informasi tersebut, saya terus terang tidak mengetahui persisnya. Saya harus rujuk dulu ke manajemen.”
Dalam kebijakan asuransi kecelakaan pesawat pada AVN 76 Supplementary Payments Clause termaktub tentang penggantian biaya tersebut. Disebutkan bahwa para penanggung setuju untuk memberikan penggantian kepada tertanggung, sebagai berikut.
Pada ayat (a), setiap biaya yang wajar yang dikeluarkan untuk tujuan operasi pencarian dan penyelamatan pesawat yang diasuransikan dalam polis ini. Yang diperkirakan hilang dan belum ditemukan, walaupun sudah melewati batas maksimum yang dihitung dari penerbangan telah terlampaui.
Ayat (c), setiap biaya yang wajar yang dikeluarkan untuk tujuan upaya pengangkatan, pemindahan, pembuangan, atau penghancuran bangkai pesawat yang diasuransikan dan isinya.
Ayat (d), setiap biaya yang wajar yang dibebankan kepada tertanggung untuk pembayaran yang berkaitan dengan penyelidikan publik atau penyelidikan oleh Otoritas Penerbangan Sipil atau otoritas terkait lainnya dalam kecelakaan yang melibatkan pesawat terbang yang diasuransikan.
Menurut Sofian, seluruh klausul AVN 76 09.02.01 itu dibatasi limit liability-nya sesuai dengan limit CSL (combined single limit), yaitu 750 juta dollar AS. Dengan limit yang begitu besar, setara dengan Rp11triliun, berbagai tanggungan asuransi kecelakaan pesawat terbang sebenarnya bisa ditanggung.
Di sisi lain, hampir setahun sejak peristiwa kecelakaan JT 610 (29/10/2018) Lion Air, tidak ada lagi pemberitaannya. Namun soal asuransi kecelakaan pesawat terbang PK-LQP itu masih bergulir. Misalnya, pemberian asuransi Rp1,25miliar per penumpang berdasarkan PM 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, yang sampai saat ini masih ada yang belum menerimanya.
“Masih banyak yang belum menerina asuransi berdasar PM 77 itu. Padahal itu otomatis saja. Korban ada di manifes, walaupun tidak teridentifikasi di DVI (Disaster Victim Identification) misalnya, tetap mendapatkan hak asuransi itu,” kata Sofian.
Kalau sampai hampir setahun ada yang belum menerimanya menjadi pertanyaan. “Umumnya memang tidak selama itu,” ucap Sofian.
Ahli waris salah seorang korban menyebutkan alasannya, kenapa belum menerima dana asuransi itu. “Kami harus tanda tangan R & D (release and discharge). Maunya terima hak-hak kami tanpa embel-embel.”
Ada lagi soal gugatan keluarga korban lewat para pengacaranya kepada pihak Boeing Company, yang masih berlangsung. Mediator yang ditunjuk, Hakim Donald O’Connell menyebutkan, penyelesaian kasus ini diperkirakan membutuhkan waktu yang panjang karena banyaknya korban yang mengajukan gugatan di Amerika Serikat.
Satu lagi yang juga perlu diketahui, yakni distribusi dana 50 juta dollar AS bagi keluarga korban JT 610 (29/10/2018) dan korban pesawat Boeing 737 MAX 8 Ethiophian Airlines ET-AVJ (10/3/2019). Kenneth R Feinberg & Camille S Biros ditunjuk khusus untuk mendistribusikannya kepada ahli waris korban masing-masing senilai sekitar 145.000 dollar AS “tanpa potongan apapun”. Realisi distribusinya dimulai Oktober 2019.
Dana dari Boeing tersebut bisa diterima ahli waris jika tak ada gugatan. Kalau masih ada proses gugatan, yang hingga kini terdapat delapan kelompok pengacara mewakili keluarga korban yang mengajukan gugatan kepada Boeing, dana itu tak akan cair.
Proses asuransi kecelakaan pesawat terbang di Indonesia masih mengundang tanya. Menurut Sofian, pihaknya sering mempertanyakan hal tersebut kepada maskapai dan pemerintah, tapi sampai saat ini belum mendapat jawaban konkret. “Padahal dengan asuransi itu, beban keuangan negara bisa berkurang,” ujarnya.
Foto: rri.co.id, katadata.com, Pikiran Rakyat, togarsilaban.worspress.com