Bus bertenaga listrik karya PT Mobil Anak Bangsa (MAB) diuji coba lagi dan berkeliling jalanan di pusat kota Jakarta. Dimulai dari depan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Jalan Merdeka Barat kemudian memutar balik ke Jalan MH Thamrin dan lurus ke Jalan Jenderal Sudirman. Bus memutar balik di Semanggi sampai Bundaran HI dan berbelok ke kanan menuju kawasan Menteng. Berhenti beberapa jenak di Menteng, lantas kembali ke Kemenhub.
“Saya akan dorong by the service untuk menggunakan mobil listrik di lima kota besar,” kata Dirjen Perhubungan Darat, Budi Setiyadi ketika berbincang di dalam bus pada Rabu (28/8/2019) siang itu. Lima kota besar di luar Jakarta itu adalah Palembang, Denpasar, Makassar, Solo, dan Surabaya. Di samping itu, ia juga menyebut, Bandung juga selayaknya mengoperasikan bus listrik untuk angkutan massalnya dengan ukuran bus sedang.
Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan merespons Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik. Respons itu, antara lain, dengan diskusi bersama media tentang kesiapan kendaraan bermotor listrik sambil berkeliling naik bus listrik.
Menurut Budi, banyak yang tertarik untuk mengoperasikan bus listrik itu. “PPD tertarik. Tahun depan (2020) akan mengganti sebagian bus konvensionalnya menjadi yang listrik. PPD butuh 100 unit. Bukan yang low entry, tapi high deck. Pada pertengahan Oktober (2019) rencananya akan melakukan uji tipe dan uji coba lagi di jalur Koridor 1 (busway),” paparnya.
Bukan cuma operator bus seperti Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD), Garuda Indonesia dan PT Angkasa Pura II juga berminat memiliki fasilitas angkut bus listrik itu. Kedua perusahaan di sektor penerbangan ini sudah melakukan uji coba bus MAB tersebut.
Direktur Teknik PT MAB Bambang Tri Soepandji mengatakan, bus listrik MAB MD12-E seri pertama yang digunakan keliling Jakarta itu sudah berkali-kali diuji coba. “Sudah keliling Jawa berulang-ulang; sampai Surabaya. Jam perjalanannya sudah lebih dari 10.000 km,” ujarnya.
Menurut Bambang, kekuatan bus listrik tersebut mengikuti regulasi dari pemerintah. Bus low entry dengan panjang badan 12 meter ini bisa mengangkut beban maksimum 16 ton dengan kekuatan sumbu 18 ton, sehingga masih mampu beroperasi jika kelebihan beban.
“Awalnya ada tiga bus prototipe. Yang pertama bus telalu tinggi. Kita memberdayakan engineer Indonesia untuk membuat sasisnya dan butuh waktu tiga tahun. Sekarang kita sudah rasakan,” ungkap Bambang, tentang bus listrik berkecepatan maksimum 110 km per jam dan bisa menempuh perjalanan 250 km dalam sekali charge –bus diisi listrik dalam waktu tiga jam sampai penuh.
Bus dengan kapasitas baterai 260 kwh itu terasa nyaman. Sasisnya rendah dan ramah bagi penyandang disabilitas. Bambang menjelaskan, “Kami masih beli baterainya dari luar (negeri). Di Indonesia memang ada pabrik baterai, tapi karena belum ada pemesan jadi belum bikin.”
Persoalannya yang perlu segera dipecahkan adalah dibangunnya tempat-tempat pengisian baterai. “Ini yang akan kami dorong pada Kementerian ESDM dan PLN,” ucap Budi, selain juga diskusi dan koordinasi tentang kebijakan fiskalnya dengan Kementerian Keuangan.
Biaya perawatan bus listrik relatif lebih murah dari bus konvensional. Namun harganya hampir dua kali lipat dari bus TransJakarta low entry yang sekitar Rp2miliar atau hampir Rp4miliar. Komponen baterai dan sistem elektroniknya memang masih mahal, antara 55-60 persen dari biaya. Dengan adanya kebijakan fiskal dan non-fiskal yang mendukung operasionalnya, tarif per penumpangnya bisa sama dengan tarif bus konvensional.
Tentang tempat pengisian baterai kendaraan listrik, Jakarta sudah memilikinya di beberapa titik. Sejak Juni 2019, Blue Bird memang sudah mengoperasikan puluhan taksi bertenaga listrik. Namun jika bus listrik sudah operasional, tentu membutuhkan lebih banyak tempat pengisian baterai itu.
Di sisi lain, Budi pun mendorong agar masyarakat menggunakan sepeda motor listrik. “Ini juga untuk pembatasan penggunaan sepeda motor dan mencegah polusi yang kian parah,” ucapnya.