Cabut Subsidi BBM Solar bagi Angkutan Truk Logistik

Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mengusulkan untuk mencabut subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar. Alasannya, akibat subsidi itu, pemerintah membatasi volume BBM solar bagi truk logistik, sehingga truk harus antre panjang untuk pengisiannya.

“Di Sumatera, juga di Kalimantan, truk-truk itu harus antre panjang untuk mendapatkan solar subsidi,” kata Gemilang Tarigan, Ketua Aptrindo di Jakarta, Jumat (21/7/2019).

Menurut Tarigan, Aptrindo ingin ada pencabutan kebijakan subsidi harga BBM solar ketimbang adanya pembatasan penggunaan volumenya. Keinginan ini sudah disampaikan DPP Aptrindo pada rapat dengan pemangku kepentingan terkait, termasuk PT Pertamina (Persero), PT AKR Corporindo Tbk, dan DPP Hiswana Migas, di kantor Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), pekan ini.

Tarigan mengatakan, karena berpotensi ada kuota berlebih dalam penggunaan jenis BBM tertentu atau JBT (solar subsidi), BPH Migas perlu membatasi volume penggunaan BBM solar bersubsidi terhadap truk barang yang memiliki roda di atas empat roda. Kuota tahun 2019 ini juga hanya cukup untuk pemakaian sampai dengan Oktober.

“BPH Migas menyatakan, jika hal itu tidak diantisipasi, akan ada 498 kabupaten/kota yang berpotensi over quota JBT solar tahun ini dan 16 kabupaten/kota yang under quota JBT solar,” ujar Tarigan.

Wakil Ketua Umum Aptrindo Kyatmaja Lookman mengatakan, saat ini ada sekitar 7,5 juta truk di seluruh Indonesia, 35% di antaranya memiliki roda di atas enam. “Jika dibatasi pasokan BBM solarnya, akan terdampak. Bahkan pengemudi juga akan demo kalau setiap pengisian harus antre panjang,” ucapnya.

Dampak yang dimaksud adalah kepastian pasokan tak tentu, juga tidak ada kepastian produknya. Hal ini, kata Kyatmaja, yang memengaruhi bisnis para pengusaha truk. “Rugilah sebagai pengusaha truk,” cetusnya.

Kemacetan dalam perjalanan ditambah antrean pengisian BBM solar subsidi membuat produktivitas truk pun berkurang. Menurut Wakil Ketua Umum IV Aptrindo Ingkari M Zen, dari yang biasanya rata-rata 25 trip truk sekarang tinggal setengahnya atau 12-13 trip.

Karena itulah, para pengusaha truk sangat ingin subsidi harga BBM solar dihapuskan. “Truk logistik sebaiknya menggunakan harga BBM industri, ketimbang menggunakan BBM solar subsidi, tapi jumlahnya dibatasi,” kata Ingkari, yang ditegaskan pula oleh pendiri Aptrindo, Musi T, dan Wakil Ketua Umum I Aptrindo, Gindo Hutagaol.

Kyatmaja menambahkan, “BBM solar subsidi ini tak memberi kepastian usaha. Berikan subsidi ke yang lain saja. Sebaiknya industri logistik tidak perlu lagi disubsidi, diserahkan saja pada mekanisme pasar.”

Alasannya, subsidi BBM terhadap truk logistik selama ini tidak tepat sasaran lantaran yang menikmati subsidi tersebut bukan pengusaha truk logistik, justru dinikmati pengguna truk atau pemilik barang karena tarif angkutnya murah.

Pembatasan distribusi BBM solar subsidi maksimum 200 liter per transaksi per hari itu rupanya merupakan usul BPH Migas kepada Pertamina. Padahal bagi truk yang melayani rute dari dan ke luar kota, mustahil adanya pembatasan itu karena bisa memengaruhi aktivitas logistik.

Alasan BPH Migas, kuota JBT solar tahun 2019 secara nasional 14,5 juta KL (dicadangkan 500.000 KL). Realisasi Januari sampai dengan 31 Mei 2019 mencapai 6,4 juta KL atau 45,73% dari kuota penetapan. Berdasarkan realisasi tersebut (seharusnya 41% dari kuota penetapan), apabila tidak dilakukan pengendalian pendistribusian, JBT solar berpotensi pada kuota berlebih tahun 2019.

Bahkan berdasarkan realisasi harian, prognosa kuota JBT solar itu akan habis tersalurkan pada 8 Desember 2019. Dengan demikian, 23 hari pada akhir tahun 2019 tidak tersedia lagi JBT solar. Maka BPH Migas memandang perlu untuk mengendalikan penyaluran JBT solar bersubsidi dengan penghematan 974,211 KL agar over quota itu tak terjadi.

Dengan mempertimbangkan data dan usul BPH Migas itulah, Aptrindo memutuskan lebih menginginkan JBT solar subsidi dihapuskan atau dicabut. Aptrindo tidak keberatan kalau operator truk di seluruh Indonesia menggunakan BBM industri yang harganya lebih tinggi dari yang subsidi Rp5.150 per liter.