Elang Hitam, Embrio Drone Kombatan Buatan Lokal untuk TNI AU

Indonesia kini telah memiliki embrio drone (Pesawat Udara Nir Awak/ PUNA) kombatan buatan lokal. Penampakan prototipe pertama drone tersebut secara resmi diperkenalkan pagi (Senin, 30/12/2019) ini di Hanggar Rotary Wing PT Dirgantara Indonesia (PTDI).

Drone jenis Medium Altitude Long Endurance (MALE) ini sepenuhnya dikembangkan oleh konsorsium dalam negeri. Konsorsium tersebut terdiri dari Kementerian Pertahanan RI melalui Ditjen Pothan dan Balitbang, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), TNI AU (Dislitbangau), Institut Teknologi Bandung (FTMD), PT Dirgantara Indonesia (PTDI), PT Len Industri, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Drone dengan callsign ‘Elang Hitam’ ini digadang mampu terbang terus-menerus selama 24 jam, dengan pengoperasian maksimal selama 30 jam. Drone ini dibangun dan dikembangkan dalam rangka mendukung alat peralatan petahanan dan keamanan (alpalhankam) dan kesiapan industri pertahanan nasional.

Pada tahun 2020 akan dibuat purwarupa kedua dan ketiga, masing-masing untuk tujuan uji terbang dan uji kekuatan struktur di BPPT. Di tahun yang sama, proses sertifikasi produk militer juga akan dimulai. Diharapkan pada akhir tahun 2021 drone ini sudah mendapatkan sertifikat tipe dari otoritas kelaikudaraan militer Indonesia (Indonesian Military Airworthiness Authority/ IMAA).

“Terbang perdana di prototipe kedua, sekarang (prototipe pertama) masih development manufacturing. Tahun depan (purwarupa kedua) kita harus terbang. (Purwarupa) yang ketiga untuk static test,” tutur Direktur Utama PTDI, Elfien Goentoro saat seremoni peluncuran Elang Hitam.

Pada tahap berikutnya akan dibuat purwarupa keempat yang akan dilengkapi dengan persenjataan.

“(Prototipe) yang keempat itulah yang nantinya dilengkapi (persenjataan). Sertifikatnya targetnya tahun 2024, sudah berupa pesawat drone yang UCAV (drone kombatan),” terang Elfien.

Sementara itu, Kepala BPPT, Hammam Riza menjelaskan bahwa drone ini dibuat untuk kebutuhan pengawasan wilayah Indonesia dari udara yang efisien. Di antaranya untuk menangani ancaman daerah di perbatasan, terorisme, penyelundupan, pembajakan, serta pencurian sumber daya alam seperti pembalakan liar dan pencurian ikan di laut.

“Untuk (drone) MALE kita ini, kita bicara bukan hanya untuk kombatan saja, walaupun fokus utamanya adalah untuk kombatan. Tapi TNI AU juga membutuhkan untuk bagaimana melaksanakan pengawasan terhadap illegal logging, illegal fishing, mengawasi perbatasan, pulau-pulau terluar,” papar Hammam.

Menurutnya, Program PUNA MALE ini sangat strategis untuk meningkatkan kemandirian Indonesia dalam melaksanakan seluruh sistem alpalhankam yang dibangun oleh industri nasional, yang memiliki tingkat komponen dalam negeri yang tinggi.

“Jadi kita tidak semua mengimpor alutsista kita, tidak mengimpor alpalhankam kita, tapi kita mengedepankan industri nasional, industri strategis nasional di bidang pertahanan dan keamanan,” tandasnya.

Inisiasi pengembangan PUNA MALE Elang Hitam dimulai oleh Balitbang Kemhan sejak tahun 2015 dengan melibatkan TNI, Ditjen Pothan Kemhan, BPPT, ITB, dan PTDI. Program ini dijalankan menyusul disepakatinya rancangan kebutuhan dan tujuan (DR&O) yang akan dioperasikan oleh TNI, khususnya TNI AU.

Tahun 2019 dimulai tahap manufacturing. Di tahun ini juga dilakukan pengadaan Flight Control System (FCS) yang diproduksi di Spanyol, yang diproyeksikan akan diintegrasikan pada purwarupa pertama oleh PTDI pada awal tahun 2020.