Betulkah Bandara Kertajati Betul-betul Siap?

Assalamualaikum semua …

Bandara Internasional Kertajati (KJT) kembali mendapat perhatian. Kemarin (18/6/2019), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi datang untuk rapat tindak lanjut pengalihan penerbangan komersial pesawat jenis jet dari Bandara Husein Sastranegara (BDO), Bandung ke KJT.

Semua pesawat jet rute dalam negeri yang berjumlah 56 pergerakan atau masing-masing 28 pesawat lepas landas dan mendarat, akan dialihkan ke KJT. “Kita rencanakan paling lambat 1 Juli 2019 secara bertahap. Ada yang tanggal 20 dan 23 Juni 2019,” kata Menhub dalam rilis Biro Komunikasi dan Informasi Publik (BKIP) Kementerian Perhubungan (18/6/2019).

Sejak diresmikan Presiden Joko Widodo pada 24 Mei 2018, KJT rupanya belum menarik minat maskapai penerbangan, sampai saat ini. Awalnya Citilink Indonesia bertahan terbang ke Bandara Internasional Juanda (SUB), Surabaya setiap hari. Namun frekuensinya lama-lama berkurang. Lion Air yang terbang carter umroh ke Jeddah pun hanya operasi dalam hitungan jari. Maskapai lain hanya bertahan operasi sekali-sekali.

PT Angkasa Pura (AP) II sebagai pengelola bandara bersama perusahaan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) bergerak untuk memindahkan sebagian penerbangan dari BDO. Awalnya direncanakan tanggal 15 Juni mulai ada yang pindah, tapi tak jadi. AP II yang akan memegang 25% saham KJT mulai membenahi BDO, KJT, juga Bandara Internasional Soekarno-Hatta (CGK) dan Bandara Internasional Halim Perdanakusuma (HLP), Jakarta.

“Kami tengah mendata apa saja yang dibutuhkan maskapai supaya paling lambat 1 Juli 2019 seluruh penerbangan sudah pindah ke Kertajati, sesuai keputusan rapat hari ini,” ujar Muhammad Awaluddin, Presiden Direktur AP II.

Menurut Awaluddin, penataan penerbangan dilakukan dengan konsep multi airport system. Konsep ini diterapkan untuk menyeimbangkan lalu lintas penerbangan agar bandara dan maskapai dapat beroperasi dengan efektif dan efisien. Penataan penerbangan juga dilakukan dengan memperhatikan fasilitas, infrastruktur, sistem operasi penerbangan, dan sumber daya manusia.

Di sisi lain, kawasan KJT juga sudah diwacanakan untuk menjadi airport city atau aero city. Suatu kawasan yang terintegrasi dengan berbagai fasilitas dan aktivitas pendukung bandara. Salah satunya akan dibangun kawasan untuk fasilitas perawatan (MRO, maintenance repair overhaul) pesawat.

Kawasan KJT memiliki luas area 1.800 hektare. Selain itu, ada lahan seluas 3.200 hektare yang disiapkan untuk kawasan aero city. Beberapa pengusaha MRO dari luar negeri, menurut seorang teman, tertarik membangun fasilitasnya di kawasan aero city Kertajati itu.

Apa yang terjadi di lapangan? Rupanya lahan ribuan hektare itu masih milik masyarakat sekitar. Para pengusaha harus membeli lahan sendiri di sana, yang harganya sudah melonjak. Akhirnya, kata teman itu, “Para investor tak jadi menanam investasinya di Kertajati. Mereka berinvestasi di Vietnam.”

Barusan (19/6/2019) dari perbincangan dengan teman wartawan, timbul pertanyaan soal kepindahan maskapai ke KJT. Apa yang akan terjadi dengan penumpang pesawat dan maskapai yang sebelumnya terbang nyaman dari BDO?

Biaya perjalanan penumpang dari Bandung dan sekitarnya dipastikan lebih mahal karena harus ke KJT. Aksesnya pun belum lancar. Wah… sudah tiket lebih mahal daripada yang setahun lalu, biaya perjalanan daratnya bertambah pula.

Namun pemikiran tak optimis tersebut tentu diiringi pula harapan optimistis. Sudah biasa kalau mengawali itu tidak sertamerta menyenangkan atau menguntungkan. Namun pula, bagaimana berbagai pihak pemegang kepentingan berupaya untuk memikul tanggung jawab. KJT yang “terlanjur” dibangun ya harus “terbangun” dan memberi dampak positif bagi ekonomi bangsa, khususnya masyarakat sekitar. Ini kan proyek “triliunan rupiah”.

Awaluddin pun pernah mengungkapkan, proyek KJT merupakan bisnis inorganik yang saat ini terus dikembangkan AP II. Perseroan ini pun ditantang untuk bisa mengelola KJT dan mengembangkannya agar bisa operasional secara optimal dan memberi benefit, serta menguntungkan.

Sekarang ini, akses jalan dan sarana transportasi ke KJT yang masih minim menjadi pekerjaan rumah. AP II dan BIJB harus kerja ekstra untuk mengajak Kementerian PUPR membangun prasarana sebagai akses ke KJT, yang didukung kesiapan operator sarana berbagai moda transportasi. Dengan begitu, KJT betul-betul siap, sehingga masyarakat pengguna dan maskapai tidak “dirugikan” terlalu lama.