Berbincang dengan Devy Suradji

Assalamualaikum semua …

Menarik berbincang dengan Devy Suradji, Direktur Pemasaran dan Pelayanan PT Angkasa Pura (AP) I usai suatu acara di Kemayoran, Jakarta, pada Kamis (6/9/2018). Akrab, walaupun saya baru kali itu berbincang dengannya. Barangkali karena awalnya saya ikut menyimak perbincangannya dengan rekan saya sesama wartawan, yang adalah teman se-SMP-nya.

Baru delapan bulan perempuan enerjik ini menjadi salah seorang direksi di AP I. Namun dalam dua kesempatan melihatnya “manggung”; di IBCAS (International Business & Charter Association Summit) dan Tenant Gathering AP I, semangatnya dalam memasarkan bandara-bandara yang dikelolanya patut diacungi jempol.

Devy ingin menampilkan bandara yang memberi kemudahan bagi pengguna jasanya. Bagi tenant misalnya, ia membuka kesempatan untuk sama-sama terbuka dan menggali potensi di bandara agar sama-sama maju dan untung.

Apa berusaha di bandara itu pasti menguntungkan? “Terus terang, tidak! Ada yang malah ‘berdarah-darah’,” ujarnya. Namun tenant itu tidak berusaha hanya di satu tempat atau di satu bandara saja. Ada subsidi silang, sehingga mereka masih bisa bertahan. Melihat kondisi ini, lanjut Devy, bukan berarti AP I senang. “Kita juga ikut tidak senang dong. Bagaimana bisa bandara tanpa tenant?”

Sebagai direktur yang punya tanggung jawab memasarkan bandara dan melayani pengguna jasanya, bandara mana di dunia yang bisa jadi contoh? “Saya belum sempat ke luar untuk benchmark. Belum ada waktunya, padahal sudah disuruh-suruh juga,” ujarnya.

Mendengar dari koleganya, ia menyebut Bandara Internasional Incheon di Korea Selatan dan Bandara Internasional Mumbai di India bisa jadi referensi.”Mumbai katanya berhasil memadukan konsep tradisional dan kekinian di bandaranya. Kalau Incheon katanya lebih komunikatif dan aspek pelayanannya bagus,” ucapnya. “Saya akan ke sana nanti.”

Saya bilang, salah satu yang saya suka dengan Incheon adalah walaupun pesawat yang akan saya naiki ada di gate seratusan –yang pasti jauh dari area imigrasi– tapi untuk sampai ke sana tak terasa lelah. Lha, setelah mendarat di Terminal 3 Soekarno-Hatta, dari turun pesawat mau sampai ke area imigrasi terasa jauhnya. Kenapa, ya?

Tentang Terminal 3 yang terasa melelahkan itu, ternyata diakuinya juga. Cetusan lain dari Devy, yang kata rekan saya tadi sudah pintar sejak dari SMP, selalu banyak yang ia perhatikan dan tanyakan kalau sedang melakukan peninjauan. Waktu ke Bandara Internasional Changi misalnya, ia bertanya, “Kenapa karpet di sini warnanya kemerahan, sedangkan yang di sana abu-abu?” Untuk menjawabnya, sang pemandu sampai harus mendatangkan bagian teknis.

Kalau sudah punya Devy, bandara-bandara AP I pastinya harus makin nyaman, kan?