Berapa Harga Tiket Penerbangan Sebenarnya?

Assalamualaikum semua …

Mahalnya tiket penerbangan menjadi pembicaraan publik yang cukup ramai. Masyarakat pecinta aviasi pun menggelar perbincangan bersama antara maskapai penerbangan dengan pengamat publik di Jakarta, Selasa (15/1/2019).

Sayangnya cuma Direktur Utama Garuda Indonesia yang juga Ketua Umum INACA Ari Askhara dan Direktur Utama Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo dari maskapai yang hadir. Direktur Utama Lion Air Rudy Lumingkewas dan Direktur Utama Sriwijaya Air Joseph Saul yang juga diundang tidak hadir. Sementara dari pengamat hadir Anggota Ombudsman Alvin Lie, Ketua Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen) Tulus Abadi, dan Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio.

Ari mengatakan, penjualan tiket saat ini jikalaupun menggunakan tarif batas atas, maskapai rugi. “Pendapatan kita itu dari yang lain-lain, yang sifatnya fluktuatif atau dari excess bagage. Dari tiket itu sudah kelelep,” ujarnya.

Menurut Juliandra, tarif batas atas itulah harga tiket penerbangan yang sebenarnya. “Harga tiket yang selama ini ada itu tiket diskon,” ungkapnya. Dikatakannya pula bahwa dalam tiga bulan ini, Citilink berupaya untuk tetap survive. “Bukan menaikkan harga tiket, tapi diskonnya dikurangi.”

Bagi Citilink, kenaikan harga avtur satu sen dollar AS saja bisa menambah biaya operasi penerbangan 4,7 juta dollar AS dalam satu tahun. Begitu juga dengan forex (foreign exchange), dengan naik 100 rupiah saja bisa tambah biaya 5,5 juta dollar setahun. Jadi dalam satu tahun ada tambahan biaya lebih 13% atau 102 juta dollar AS.

Maskapai terus bergerak maju dengan inovasi untuk memperoleh pendapatan lain, seperti dari penjualan makanan dan space kargo. bahkan iklan di badan pesawat. Juliandra pun berharap, ada dukungan dan kerja sama pula dari pemangku kepentingan lainnya, seperti pengelola bandara dan navigasi penerbangan. “Misalnya bisa dibuat perbedaan landing fee pada waktu-waktu tertentu,” katanya.

Alvin menggambarkan jumlah penumpang pada Desember 2018 turun 9,75% dibandingkan Desember 2017. “Ini penurunan yang signifikan karena dalam setahun kenaikannya 10%. Ini ada apa? Bahkan di bandara-bandara besar penurunan jumlah penumpang itu 13,43%. Pergerakan pesawat pun turun 5,56% karena maskapai mengurangi penerbangannya. Ini indikasi kalau maskapai sedang krisis kondisi keuangan,” tururnya.

“Masyarakat shock. Ini menggambarkan kalau maskapai gagal memahami psikologi konsumen. Kalau naiknya 80%-100%, masyarakat jadi terbengong-bengong; shock!” ujar Tulus.

Sementara itu, Agus menyoroti soal pemborosan avtur dalam operasional penerbangan, seperti lama holding menunggu waktu mendarat, yang belum terselesaikan sampai saat ini. Belum lagi dampak buruk banyaknya bandara yang berstatus internasional, yang katanya untuk mendongkrak jumlah wisatawan mancanegara, walaupun sampai saat ini belum naik juga. “Kementerian Perhubungan harus tidak mudah membuka bandara internasional,” ujarnya.

Memang banyak faktor yang mempengaruhi harga tiket penerbangan. Kalau ditanyakan berapa tarif penerbangan yang terjangkau atau ideal bagi maskapai dan masyarakat, sulit menjawabnya. Ari malah meminta masyarakat melihat, berapa harga tiket penerbangan domestik di AS, misalnya.

Keinginan maskapai agar tarif batas atas dinaikkan pun masih tanda tanya. Kemenhub juga belum mengeluarkan tarif batas atas yang baru, yang disesuaikan dengan kondisi biaya-biaya yang sudah lebih dulu naik. Namun apakah kalau tarif batas atas naik, diikuti harga tiket yang naik juga, penumpang akan bertumbuh? Kata Ari, masyarakat mengerti kondisi maskapai, tapi mereka ingin kenaikannya itu bertahap.