Anak Cucu Menulis Kenangan tentang Abdul Hakim, Sang Wartawan

Abdul Hakim

Assalamualaikum semua …

Abdul Hakim Wartawan Antara dalam Kenangan Anak Cucu. Itu judul buku yang semalam saya baca, walaupun belum seluruhnya. Kemarin (17/12/2019) siang, Tascha Liudmila, cucu dari tokoh dalam buku itu, memberi saya buku tersebut usai acara peluncurannya di Jakarta. Peluncuran dan diskusi buku itu juga sekaligus acara ulang tahun Chappy Hakim, penggagas penerbitannya.

“Ini buku tentang ayah saya. Kita, semua anaknya, mau mengangkat peran ayah di Kantor Berita Antara. Ada kebanggaan dari anak-anaknya,” ucap Chappy, yang menyusun buku itu bersama adiknya, Budiman Hakim.

Dia menambahkan, “Buku ini berisi kumpulan tulisan dari keluarga kami. Adik-adik dan kakak, saya paksa untuk menulis kenangan dan apa yang diingat tentang ayah.”

Bukan tiba-tiba kalau Chappy ingin membukukan kenangan tentang Abdul Hakim. “Sudah lama saya ingin merealisasikan buku ini. Sampai akhirnya bisa terwujud sekarang ini.”

Setiap tanggal 17 Desember, ia memang ingin selalu meluncurkan buku. Semacam kado ulang tahun baginya. Bahkan bersamaan dengan peluncuran buku tentang ayahnya itu, dikenalkan pula buku “Bunga Rampai Dirgantara Indonesia”, yang juga kumpulan tulisan dari mereka pecinta dirgantara partisan Pusat Studi Air Power Indonesia.

Kembali ke Abdul Hakim, sosok wartawan yang dalam buku itu disebut sebagai Redaktur Pertama di Antara. Tertulis di sampul belakang: “Sebagai redaktur pertama adalah toean Abdoel Hakim. Pembantoe tetap jang lama dan jang baroe ialah toean-toean Sanoesi Pane, Mr. Soemanang, Mr. Alwi, Sjahroezah, Sg. Djojopoespito, serta correspondentendi tempat jang penting di seloeroeh Indonesia”.

Kata pengantar ditulis Parni Hadi, wartawan Antara (1973-2000) dan pernah menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi. Bersama dengan Bachrul Hakim, putra tertua Abdul Hakim, dan Direktur Pemberitaan Antara, Akhmad Munir, ia didaulat untuk menjadi pembahas buku yang dipandu Tascha.

Parni mengatakan, tidak banyak orang “zaman now” yang mengenal Abdul Hakim sebagai redaktur pertama Antara, ketika kantor berita nasional Indonesia ini berdiri pada 13 Desember 1937. “Saya tidak kenal secara pribadi dengan Pak Abdul Hakim karena sewaktu masuk Antara, beliau sudah pensiun. Saya kenal nama beliau dari almarhum Pak Soebagio I.N., senior saya di Antara dan sejarawan pers Indonesia,” tulisnya.

Tentu Parni mengenal Chappy, yang dipanggilnya Bro Chappy. Dia mengungkapkan, Marsekal TNI AU (Purnawirawan) ini terus aktif menulis untuk surat kabar, buku, dan penerbitan online.

“Saya pikir, kepiawaian menulis Bro Chappy karena warisan genetik almarhum ayahnya… Jadi, kloplah ‘like father, like son’. Begitu ayahnya, begitu pula putranya,” tutur Parni.

Kemudian, setelah ia tahu bahwa kakak dan adik-adik dari Chappy juga bisa dan piawai menulis, ia menyebut “like parent, like children”. Bahkan ditambahkan pula menjadi “like grandparent, like children, like grandchildren” karena ternyata cucu-cucu pun bisa menulis.

Sebelumnya, Akhmad Munir mengapresiasi terbitnya buku Abdul Hakim itu. Dia pun bangga bahwa putra-putri wartawan Antara menjadi tokoh yang dikenal masyarakat. “Saya dengar waktu Pak Chappy jadi KSAU bahwa ia adalah putra dari wartawan Antara. Begitu juga orangtua Laksamana Sukardi,” ucapnya.

“Ayah yang heibatt!” Ini yang pertama diucapkan Bachrul, mengingat ungkapan kata ayahnya yang paling melekat dalam ingatan anak-anaknya. “Heibatt atau hebat”, kata putra tertua ini, adalah pujian yang selalu diberikan ayah mereka pada anaknya yang patut menerimanya. Pujian ini disampaikan di depan anak-anak lain agar bisa diteladani.

Tascha pun mengingatkan bahwa Om Aul, begitu putri Chappy ini menyapa Bachrul, seringkali menangis jika mengingat ayahnya. “Sejak usia saya menembus angka ‘sapta dasa warsa’ (70 tahun), entah kenapa saya menjadi peka dan mudah terharu. Untuk hal-hal kecil menyangkut ayah atau mamak (ibunya, Zubainar Hakim) atau anak-anak, saya menangis, bahkan sampai sesenggukan,” tutur mantan Direktur Niaga Garuda Indonesia ini.

Bachrul pun berdoa, “Ya Allah, ampunilah segala dosaku dan ampunilah segala dosa orangtuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku selagi aku masih kecil. Aamiin.”

Ingatan para cucu tentang Abdul Hakim, yang mereka panggil Yai, beragam. Seperti Bachrul, Tascha ingat betul kata-kata “heibatt cucu Yai” yang diucapkan sang kakek setiap kali orangtuanya memberitahu bahwa ia dan adiknya naik kelas atau bisa main piano.

Adik Tascha, Fatsi Anzani, mengingat kakeknya yang bermain sulap menggunakan segumpal kapas. “Girang bukan main hati saya melihat sulap itu. Andai Yai tahu, sekarang saya sering bermain sulap itu di depan anak saya dan mendapatinya tertawa gembira bukan kepalang. Bahagia itu ternyata sangat sederhana,” tulisnya.

Cucu lainnya adalah Marcellia Safitrie, putri dari Nurmayulis Hakim. Yai yang diingatnya adalah Yai yang selesai makan masuk kamar, kemudian membaca buku, atau duduk di ruang tengah dan membaca koran. “Yai suka sekali membaca sampai kacamata beliau tebal sekali.”

Chappy memang mengakui keteladanan yang ditunjukkan oleh sang kakek, baik sebagai ayah, pejuang, maupun wartawan. “Abdul Hakim memberikan contoh, bagaimana berbeda ideologi, aliran, atau visi, bukan halangan untuk tetap bersahabat. Namanya persahabatan tetap persahabatan,” katanya.

Berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang, yang kata dia, orang bisa bermusuhan hanya karena berbeda pendapat, agama, suku, dan sebagainya. “Ayah saya jelas-jelas dimusuhi, disingkirkan, tapi ia tetap berteman dengan ‘musuh-musuhnya’. Dia bisa membedakan, bagaimana itu pertemanan, persaudaraan, dan pemikirannya.”

Cerita demi cerita tentang Abdul Hakim ditulis oleh tujuh bersaudara, yang selain Bachrul dan Chappy, juga Rusman Hakim, Alan Hakim, Thursan Hakim, serta Budiman dan Nurmayulis. Kenangan lainnya ditulis juga oleh Pusparani Hasjim, istri Chappy dan Abdulah Yasak, suami dari Nurmayulis serta sedikit catatan Rosihan Anwar.

Dari pengalamannya mengajak saudara-saudaranya menulis itu, Chappy ingin pula mengajak semua orang untuk menulis. “Dengan menulis, kita bisa menuangkan isi pikiran dengan terstruktur. Kami membuka kelas untuk itu, supaya orang-orang mau menulis.”

Budiman juga mengungkapkan hal senada, yang juga merupakan amanat Abdul Hakim. Sang ayah selalu berpesan, “Sebelum mati, buatlah minimal satu buku.”

Foto: Reni