75% Konsumen Tolak Tarif Baru Ojek Online

Hasil penelitian lembaga RISED mengungkapkan bahwa 75% konsumen menolak penerapan tarif baru ojek online (ojol). Dari data penelitian itu, 75,2% konsumen berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Faktor tarif memang menjadi pertimbangan utama bagi keputusan konsumen untuk menggunakan moda ojol.

“Sebesar 47,6% kelompok konsumen hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojek online maksimal Rp4.000-Rp5.000 per hari, bahkan 27,4% kelompok konsumen tidak mau menambah pengeluaran sama sekali,” ujar Rumayya Batubara, Ketua Tim Peneliti RISED yang juga ekonom Universitas Airlangga, Surabaya, pada diskusi publik “Aturan Main Industri Ojol: Harus Cegah Perang Tarif” yang digelar Komunitas Peduli Transportasi di Jakarta, Senin (20/5/2019).

Pemerintah memang sudah mengeluarkan skema tarif yang berpedoman pada Keputusan Menteri Perhubungan (Kemenhub) Nomor 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi.

Dari skema itu, tarif ojol dan rata-rata jarak tempuh konsumen lebih tinggi dari alokasi yang diinginkan masyarakat. Pengeluaran konsumen per hari akan bertambah Rp4.000-Rp11.000 di Zona I, Rp6.000-Rp15.000 di Zona II, dan Rp5.000-Rp12.000 di Zona III.

“Kenaikan tarif ini justru bisa menggerus permintaan ojek online, yang akhirnya bisa berdampak negatif pada pendapatan pengemudi,” ucap Rumayya.

Sebelumnya, pemerintah menyatakan bahwa kenaikan tarif ojol bisa diterima, setidaknya oleh 60% masyarakat penggunanya. Namun Rumayya mengatakan, “Pemerintah jangan sampai membaca animo yang salah. Karena tidak akan terjadi perubahan tarif yang dirasakan masyarakat karena tertahan oleh praktik promo jor-joran, bahkan mungkin bisa lebih murah dibandingkan tarif lama.”

Rumayya pun menambahkan, “Penelitian kami secara objektif menganalisis faktor willingness to pay konsumen dan simulasi pengeluaran tambahan konsumen akibat tarif baru yang sebenarnya. Alhasil, hasil survei kami lebih mampu mendekati kondisi riil di lapangan ketika konsumen secara langsung memang mengalami kenaikan tarif ojek online.”

Tentang praktik promosi yang jor-joran dari aplikator ojol, ditanggapi Ketua Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Periode 2015-2018 Muhammad Syarkawi Rauf. Katanya, tarif promo yang berlebihan dan terus menerus bisa mengarah pada praktik predatory pricing (jual rugi). Perilaku persaingan usaha yang tidak sehat ini dinilai berpotensi menyingkirkan kompetitor dan pada akhirnya menciptakan monopoli yang merugikan konsumen.

Dilihat dari kacamata konsumen pun, ucap Syarkawi, tarif promosi itu tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Pasalnya, jika bisa menyingkirkan kompetitornya dan menjadi pemain tunggal (monopolis), perusahaan itu akan menerapkan tarif yang sangat tinggi untuk menutupi biaya promosi.

“Pada transportasi online, uniknya monopoli tidak hanya merugikan konsumen, tapi juga driver karena mereka akan kehilangan posisi tawar dan pilihan,” kata Syarkawi, yang juga menilai bahwa predatory pricing akan menghambat masuknya pemain baru.

Maka diskusi pun menyimpulkan, Kemenhubt diminta untuk melarang aplikator transportasi ojek online menerapkan tarif promo yang berlebihan dan terus menerus. Dua payung hukumnya, yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat dan Kepmenhub Nomor 348 Tahun 2019, masih memiliki celah yang bisa disalahgunakan oleh aplikator, yakni tidak diaturnya soal promosi. “Harus diatur oleh pemerintah soal jangka waktu dan besaran promo ini,” tegas Syarkawi.

Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muslich Zainal Asikin menilai pemerintah cukup memahami adanya kebutuhan regulasi untuk menjaga agar manfaat positif dari layanan ojol dapat dinikmati terus menerus. Namun katanya, pengaturan tarif saja tanpa pengaturan promo atau subsidi tidak cukup. Maka diperlukan penyempurnaan pengaturan yang jelas dan tegas untuk menghentikan perang harga, promosi, dan diskon yang agresif.

“Harus ada koordinasi antara Kemenhub, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta KPPU, untuk menetapkan mekanisme sanksi terhadap upaya-upaya predatory pricing yang mengarah ke monopoli dan mengancam keberlangsungan industri transportasi online,” ucap Muslich.