Assalamualaikum semua …
Tentang N219 Nurtanio dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sebagai manufaktur pembuat pesawat udara didiskusikan dalam grup Whatsapp (WA) Pusat Studi Air Power Indonesia. Diskusi hangat setelah pertemuan rutin kelima pada 3 Mei 2019 itu mengingatkan kita, apa kabar N219 Nurtanio?
Dalam diskusi itu, yang menarik adalah jangan lupakan “sang pembunuh” N219. Siapakah yang menjadi pesaing pesawat buatan PTDI dan Lapan ini?
Ada pesawat Cessna 408 Skycourier buatan pabrikan AS yang mirip betul N219. Pabrikan pesawat Twin Otter pun mengembangkan versi terbarunya. Belum lagi Harbin Y-12 buatan China atau RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dengan performa lebih baik. Jangan lupakan pula pabrikan Jepang, yang mulai masuk industri produk final commuter aircraft.
Sampai saat ini, belum ada kabar terbaru di media tentang N219. Pada Januari 2019, jam terbang prototipenya masih di bawah 100 jam. Setelah prototipe kedua rampung akhirntahun 2018, harapannya jam terbang bisa dicapai lebih cepat.
Sekadar mengingatkan, untuk mendapatkan sertifikat, uji terbang pesawat (flight test) setidaknya mencapai 300 jam. Belum lagi uji-uji lainnya, seperti tes olah gerak (static test) untuk menguji kemampuan pesawat menahan beban maksimal dan tes ketahanan tekanan (fatigue test) untuk mengukur panjang usia ekonomis pesawat.
Persoalan lainnya adalah kebutuhan dana. Untuk bisa produksi, Direktur Utama PTDI Elfien Guntoro menyebut angka lebih dari Rp1,64 triliun. Soal dana ini jelas sangat dibutuhkan saat ini agar proses untuk mewujudkan N219 berjalan sesuai target.
Dengan kondisi tersebut, bisakah tercapai N219 memperoleh sertifikasi lantas diproduksi tahun 2019 ini?
Selain soal N219, ada satu lagi yang perlu kita pikirkan. Ini yang tersurat di WA, “Bikin pesawat kita bisa. Sudah terbukti dan ahli-ahli kita diakui dunia. Yang kita belum punya kemampuan adalah membangun industri pesawat terbang.”
Inilah ironi produk-produk made in Indonesia, yang gagal take off di negeri sendiri. Inilah pula yang menyebabkan industri kita tidak atau sulit berkembang dan hanya terbatas pada unjuk kemampuan membuat pesawat terbang tapi tidak industrinya.
Apapun yang didiskusikan off air ataupun on air, Chappy Hakim yang menggawangi Pusat Studi Air Power Indonesia menegaskan, Pusat Studi Air Power Indonesia adalah mitra pemerintah dalam menangani masalah penerbangan. “Kita bukan semacam corruption watch,” ujarnya.
Foto: PTDI