Sampai saat ini ruang udara Indonesia masih belum terkelola dengan baik. Masih banyak pengelolaan ruang udara, termasuk industri penerbangan, yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan baru seperempatnya dari pendapatan pengelolaannya itu yang bisa diserap industri penerbangan dalam negeri.
Demikian gambaran yang diperoleh dari Aviation Business Gathering 2018 “Highlight Indonesia Aviation Industry 2017: Professional Analysis and Opinion” di Jakarta, Selasa (30/1/2018). Kegiatan yang diselenggarakan oleh CSE Aviation Consulting berkolaborasi dengan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) itu menghadirkan lima narasumber dengan pemandu Komisaris CSE Aviation Consulting, Chappy Hakim.
“Kita mimpi punya aviation community yang kompak di Indonesia,” kata Chappy, menyuarakan keinginannya supaya ruang udara dan industri penerbangan Indonesia kian maju. Indonesia, katanya, bisa jadi pemimpin di kawasan Asia Pasifik dalam industri penerbangan, mengingat potensinya yang sangat prospektif.
“Asia akan tumbuh menggantikan negara-negara besar di dunia dan kita punya peluang yang sangat besar untuk menjadi pemimpin dibandingkan Australia,” ucap Chappy.
Namun sampai saat ini masih banyak yang perlu dibenahi. Penguasaan ruang udara sebagai wilayah kedaulatan NKRI dan otoritasnya pun masih belum seutuhnya di tangan Republik Indonesia. “Kita belum sepenuhnya mengolah kedaulatan udara kita dari aspek national security dan national prosperity,” ujar Chappy. Hal ini bisa dilihat dari aspek penerimaan negara yang belum optimal.
Seperti Chappy yang optimis bahwa Indonesia bisa menjadi pemimpin, Dirjen Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan juga mengatakan, dunia aviasi Indonesia akan tumbuh pesat. Namun untuk itu dibutuhkan dukungan dari seluruh sektor, seperti hukum, teknologi, dan regulasi. “Jangan sampai pertumbuhan yang pesat itu tak dimanfaatkan. Maka kita harus memikirkannya bersama-sama,” tuturnya.
Sebagai contoh adalah tumbuhnya industri perawatan pesawat terbang. “Harus ada kawasan industri dengan spesifikasi dan kualifikasi industri dirgantara semacam aerospace park di Indonesia,” ujar Putu.
Hal tersebut ditegaskan oleh Direktur Utama GMF AeroAsia, Iwan Joeniarto, yang menyebut bahwa industri MRO (maintenance repair overhaul) pesawat terbang sangat menjanjikan dan saat ini tumbuh 20 persen. Sayangnya sampai saat ini, perusahaan MRO dan OEM (original equipment manufacturer) asing enggan berinvestasi di Indonesia. “Kita membutuhkan transfer of technology dari mereka dan berbagi kompetensi. Kita juga membutuhkan sertifikasi internasional,” katanya.
Untuk menarik minat mereka dibutuhkan adanya kawasan terpadu industri perawatan pesawat terbang yang memberi kebebasan dalam pajak, bea masuk, juga kemudahan-kemudahan lainnya. “Aviation park itu sudah dimiliki negara-negara tetangga. Singapura sudah lama ada di Seletar. Malaysia punya di Sepang, begitu juga dengan Thailand dan Filipina di Subic. Bahkan Vietnam pun sudah bekerja sama dengan Airbus,” ungkap Iwan.
Ketua IAMSA (Indonesia Aircarft Maintenance Services Association), Richard Budihadianto menyatakan dukungan adanya aviation park. “Kita belum punya. Padahal sejak tahun 2008, ketika dipanggil DPR, IAMSA meminta agar pemerintah menetapkan kawasan terpadu penerbangan, tapi sampai kini belum ditetapkan. Di Batam, Bintan, dan Kepulauan Karimun, itu zona yang strategis. Paling tidak, Indonesia harus punya dua aviation park; di barat dan di timur,” ujarnya.
Di sisi lain, kita memiliki industri manufaktur pesawat terbang PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Menurut Ketua Indonesia Aircraft Component Manufacturer Association (Inacom), Andi Alisjahbana, harapannya PTDI dapat menguasai teknologi dirgantara. Mantan direksi PTDI ini menambahkan, PTDI saat ini ingin mengembangkan komponen untuk pesawat yang diproduksinya. “Tapi ini baru permulaan. Kita butuh experience. Kita juga bisa mendapat experience itu dari adanya pesawat N219,” ucapnya.
Chappy menegaskan, aktivitas aviasi harusnya secara maksimal untuk kemaslahatan masyarakat. “Agar kita berpikir lintas sektoral dan masing-masing bergerak bersama, tapi kita belum melakukan itu. Kita mungkin bisa punya menteri koordinasi bidang kedirgantaraan karena dunia keudaraan ini begitu luas dan kompleks.”